Kamis, 02 Mei 2024

ABH dalam Perspektif Psikologi

Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mendefinisikan Anak yang Berhadapan dengan Hukum adaa anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. UU SPPA menggunakan pendekakatan keadilan restoratif dimana penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Konsekuensi dari keadilan restoratif adalah mengedapankan kepentingan terbaik untuk anak dari pada kepentingan masyarakat. Oleh karena itu Pasal 2 UU SPPA, Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
  • perlindungan
  • keadilan
  • non diskriminasi
  • kepentingan terbaik bagi Anak
  • penghargaan terhadap pendapat Anak
  • kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak
  • pembinaan dan pembimbingan Anak
  • proporsional
  • perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir
  • penghindaran pembalasan.
  • Selain itu Pasal 3 mengatur bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak:
  • diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
  • dipisahkan dari orang dewasa
  • memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
  • melakukan kegiatan rekreasional
  • bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
  • tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
  • tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
  • memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
  • tidak dipublikasikan identitasnya
  • memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak
  • memperoleh advokasi sosial
  • memperoleh kehidupan pribadi
  • memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat
  • memperoleh pendidikan
  • memperoleh pelayananan kesehatan
  • memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meskipun ABH dianggap sebagai anak yang bermasalah, pendekatan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan dan bukan balas dendam sangat penting melindungi hak anak dalam penerapannya. Keadilan restoratif yang bertujuan memulihkan kembali perilaku sehat ABH perlu didukung dengan pemenuhan hak-hak anak tersebut. Hal ini menghindari pelabelan yang tidak perlu dan penanganan yang tepat pada ABH.

Sebuah Jalan Keluar; Pemahaman Perkembangan Anak

Penerapan UU RI No. 11/ 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan semangat keadilan restoratif sudah berjalan efektif namun peningkatan jumlah anak berhadapan dengan hukum masih mengalami tren kenaikan. Semangat keadilan restorative merupakan bentuk kemajuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian, masih perlu untuk terus dikembangkan agar dapat mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Kenakalan atau perilaku kriminal yang dilakukan anak dalam kaca mata psikologi dianggap sebagai kegagalan anak untuk memenuhi harapan atau tuntutan sosial nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Hal ini bisa disebabkan oleh anak yang mengalami kesulitan atau hambatan dalam menyelesaikan tugas perkembangan.

Kesulitan-kesulitan dan kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dapat mengakibatkan masalah kepribadian. Gerald Corey (2007) berpendapat bahwa masalah kepribadian yang muncul baik secara individu atau kelompok terdiri dari;

Ketidakmampuan menaruh kepercayaan diri pada diri sendiri dan pada orang lain, ketakutan untuk mencintai dan untuk membentuk hubungan yang intim, dan rendahnya rasa harga diri.
Ketidakmampuan mengakui dan mengungkapkan perasaan-perasaan benci dan marah, penyangkalan terhadap kekuatan sendiri sebagai pribadi, dan kekurangan perasaan-perasaan otonom/ mandiri.
Ketidakmampuan menerima sepenuhnya seksualitas dan perasaan-perasaan seksual diri sendiri, kesulitan menerima diri sendiri sebagai pria atau wanita, dan ketakutan pada seksualitas.
Masalah kepribadian tersebut jika tidak ditangani akan menimbulkan kegagalan penyesuaian diri/maladaptasi individu terhadap harapan dan norma sosial masyarakat (social expectations). Maladaptasi yang dimaksud Gerald Corey adalah konflik sosial antara anak dengan nilai sosial dan norma hukum, maka munculah tindakan melawan hukum dan menjadi pelaku tindak pidana.

Dalam membedah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) maka kita perlu melihat bagaimana para ahli ilmu psikologi dalam membahas perkembangan manusia. Perkembangan anak menjadi perhatian khusus dari para tokoh ilmu Psikologi. Dinamika perkembangan anak ini perlu kita ketahui untuk memahami dan memperkirakan penyebab munculnya perilaku.

Sigmund Freud merupakan psikolog pertama yang menekankan masa bayi dan anak-anak adalah masa terpenting dalam hidup manusia. Freud berpendapat bahwa kepribadian sudah cukup terbentuk pada akhir tahun ke-lima, dan perkembangan selanjutnya adalah bentuk elaborasi terhadap struktur dasar tersebut. Menurutnya kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat tegangan pokok, yakni; (1) proses-proses perkembangan fisiologis, (2) frustasi-frustasi, (3) konflik-konflik dan ancaman-ancaman. Meningkatnya tegangan-tegangan dari sumber-sumber ini memaksa individu untuk mempelajari cara mereduksi tegangan.

Cara yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan melalui proses disebut identifikasi dan pemindahan. Identifikasi adalah mengambil ciri-ciri atau kualitas diri orang lain yang dianggap lebih berhasil untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari kepribadiannya. Jika dalam mengambil ciri dan kualitas diri ini terhalang atau mengalami rintangan dari dalam dan/atau luar dirinya, maka individu melakukan pemindahan terhadap objek lain.

Proses pemindahan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kemiripan objek pengganti dengan objek asli dan larangan-larangan yang ada di masyarakat. Objek-objek tersebut akan selalu berganti-ganti karena tidak pernah bisa menekan habis sumber tegangan-tegangan. Individu akan selalu mencari cara pemindahan objek tersebut. Hal ini menyebabkan keanekaragaman tingkah laku serta menimbulkan keresahan dan menimbulkan kepribadian yang tidak stabil. Ketidakstabilan yang terus menerus akan menimbulkan penyimpangan perilaku bahkan gangguan kepribadian.

Tokoh lain yang memandang fase awal anak-anak penting adalah Henry A Muray. Menurutnya kepribadian manusia merupakan kompromi antara dorongan-dorongan dalam diri sendiri dengan tuntutan-tuntutan serta kepentingan-kepentingan orang lain. Tuntutan dari orang lain ini terkumpul secara kolektif oleh pranata-pranata dan pola budaya tempat individu itu berada. Sedangkan proses implus-implus (tekanan) sendiri dikompromikan oleh kekuatan-kekuatan disebut proses sosialisasi.

Proses sosialisasi dipengaruhi oleh otoritas yang ada di lingkungan (orang tua, masyarakat). Proses kompromi akibat tekanan-tekanan individu yang terus menerus ini mempunyai efek negatif yakni hilangnya daya kreasi dan kebebasan individu. Salah satu hal yang muncul biasanya ketika anak berada di luar jangkauan dari tekanan otoritas tersebut atau mendapatkan tekanan lain yang lebih kuat dari otoritas di lingkungan psikososial di luar keluarga, anak akan terjadi konflik dalam dirinya. Kita dapat menemukan anak yang di rumah dikenal berperilaku baik ternyata di luar rumah menjadi anak nakal atau bahkan terlibat tindak kriminal.

Tokoh psikologi sosial Erik H. Erikson membahas lebih lanjut mengenai perkembangan dengan proses-proses sosial. Pada anak setiap tahapnya mengandung kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi krisis yang perlu diselesaikan. Pada anak ada lima tahapan, antara lain sebagai berikut:

1. Percaya vs Kecurigaan (Tahun Pertama)

Pada fase ini anak mulai mengembangkan kemampuan hal yang berhubungan dengan perkembangan rasa percaya diri dan dunia diluar dirinya. Bayi mulai mengembangkan rasa percaya jika dicintai oleh ibunya. Rasa cinta ini akan mengembangkan kepercayaan diri pada anak. Jika mengalami kegagalan dalam dalam fase perkembangan ini maka muncul kecurigaan akibat rasa kecewa tidak dicintai. Dinamika antara percaya diri dan kecewa yang proporsional adalah harapan. Hal ini menjadi kebajikan paling awal dan paling dasar dan intrinsik dalam hidup.

2. Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu (1-3 Tahun)

Pada masa kanak-kanak awal ini anak mengembangkan kemampuan mandiri. Anak mulai belajar menguasai lingkungan dan mulai mencoba hal-hal yang baru untuk menguji kemampuannya. Pada tahap ini, anak sangat membutuhkan dukungan untuk bereksperimen dan mulai belajar bergantung dengan orang lain secara sehat. Kegagalan atau terhambatnya tugas perkembangan pada fase ini menimbulkan sifat ragu sehingga menimbulkan hubungan ketergantungan yang tidak sehat dengan orang dewasa di lingkungannya.

3. Inisiatif vs Rasa Malu (3-5 Tahun)

Tadap ini merupakan tahapan yang mementukan anak mengenal kecakapan-kecakapan dasar seperti mengenali identitas seksual, standar moral, meniru perilaku orang dewasa. Anak dalam fase ini mulai mengembangkan kemampuan mengendalikan dorongan dan belajar rasa bersalah.

4. Industrial vs Inferioritas (6-12 Tahun)

Pada tahap ini anak belajar mengembangkan sifat kompetitif dan kooperatif. Anak belajar bersaing (menang-kalah) dan bekerjasama dengan temannya. Anak belajar sikap setia kawan dan mengenali aturan-aturan yang belaku di lingkungan. Anak siap untuk bersosialisasi di luar rumah tanpa orang tuanya dalam waktu terbatas seperti belajar di sekolah.

5. Identitas vs Difusi peran/ Kekacauan Indentitas (12-18 Tahun)

Tahap ini terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. Mulai nampak adanya kontradiksi bahwa ia dianggap dewasa tetapi sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan fase standarisasi diri, yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur, dan aktivitas/ kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama akan menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya menjadi tinggi, teman sebaya dianggap sebagai teman senasib, partner, dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini, remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri. Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis (mempunyai masalah). Perkembangan identitas berpangkal pada kebutuhan inheren manusia untuk berafiliasi, tujuan hidup dan makna hidup. Kegagalan mendapat identitas diri menyebabkan kebingungan akan peran identitasnya.

Tahap perkembangan psikososial diatas memberikan gambaran bahwa perilaku anak terbentuk dan muncul dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Konflik-konflik tekanan terus menerus mengakibatkan anak belajar untuk memilih perilaku yang dianggap mampu menekan krisis-krisis yang terjadi. Anak harus mendapatkan dukungan dari orang tua agar dapat menyelesaikan tugas-tugas pokok pada lima tahap perkembangan psikososialnya. Kegagalan menyelesaikan tugas pokok akan memunculkan krisis-krisis yang menjadi kebalikan dari kualitas-kualitas positif setiap tahapan perkembangannya hingga dewasa.

Perkembangan anak dan perilaku sosial juga mendapatkan perhatian Albert Bandura dalam teori belajar sosialnya. Bandura percaya bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan orang lain. Melalui belajar observasi secara kognitif individu merepresentasikan perilaku orang lain dan mengambilnya. Proses kognisi dalam proses belajar sosial meliputi; (1) perhatian/ atensi, (2) mengingat/ retensi, (3) reproduksi gerak dan motivasi.

Singkatnya pendekatan munculnya perilaku teori Bandura menekankan pada proses pembiasaan/ habituasi respon dan peniruan. Kognisi dan lingkungan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi. Proses interaktif menggambarkan bahwa manusia mempunyai kemampuan memilah dan memilih perilaku yang mau ia pelajari. Proses interaktif juga berkaitan dengan respon orang lain yang memperkuat atau memperlemah perilaku (reinforcement atau Reward & Punishment).

Berdasarkan pendekatan ini maka orang dewasa dan lingkungan tempat tinggal sangat erat pengaruhnya pada perilaku anak. Orang tua perlu menumbuhkan kemampuan kognitif (pikir) yang baik agar dapat dipergunakan anak untuk memilah dan memilih. Perlu penanaman pindidikan nilai dan norma sosial sejak dini untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Proses pendidikan harus dapat menanamkan anak berpikir kritis sebagai filter yang logis. Hal ini dilakukan dalam lingkungan keluarga dan juga institusi pendidikan formal. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan anak dalam proses belajar observasi perilaku secara kognisi.

Kesimpulan

Berdasarkan penyebab munculnya perilaku anak kita dapat memahami bahwa sebenarnya Anak Berhadapan dengan Hukum merupakan korban dari lingkungan psikososial mereka. Lingkungan psikososial tersebut mulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan mereka di luar rumah. Pola asuh keluarga secara langsung berpengaruh pada kualitas pribadi seorang anak. Tidak mudah memang untuk menentukan metode pola asuh yang ideal karena kondisi ekonomi, sosial dan budaya setiap keluarga yang sangat beragam.

Oleh karena itu maka perilaku anak melakukan tindak pidana termasuk dalam perilaku maladaptif dengan tuntuan norma sosial dan hukum lingkungannya. Undang-undang sistem peradilan pidana anak mengedepankan keadilan restorative dengan semangat memulihkan hubungan yang sehat antara perilaku anak dengan norma sosial

Namun. kunci utamanya pola asuh ideal adalah metode pola asuh yang dapat menumbuhkan kepribadian anak dengan kualitas kemandirian untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah. Anak dengan pola asuh yang tidak menumbuhkan kemandirian mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah menjadi salah satu penyebab perilaku maladaptif.

Hal ini berkorespondensi dengan temuan yang diperoleh penulis selama tiga tahun melakukan pendampingan terhadap ABH. Anak pelaku tindak pidana sebenarnya adalah korban dari pola asuh yang tidak menumbuhkan dua kualitas utama kepribadian anak. Fenomena ini diperburuk dengan lingkungan sosial di luar rumah yang cenderung negatif. Sebagai peniru yang ulung, anak dalam pergaulan di lingkungan sosial tidak mendapatkan figur tiru yang positif (teladan).

Proses sosialisasi lingkungan pergaulan membuat anak cenderung terpengaruh teman sebaya, bahkan sering ditemukan anak mendapat tekanan sosial (perintah) dari orang dewasa untuk melakukan tindak kriminal. Anak sebenarnya belum bisa dimintai pertanggungjawaban di depan hukum, karena secara substansi mereka adalah korban. Setelah mengetahui bagaimana latar belakang terbentuknya perilaku ABH, maka kita akan mengerti mengapa kepentingan terbaik untuk masa depan anak harus diutamakan dan didahulukan dari kepentingan masyarakat.

Posting Komentar