Jumat, 31 Mei 2024

Dinamika Psikologis ABH

Dinamika Psikologis ABH

Hingga saat ini, perilaku kekerasan pada anak masih menjadi topik hangat dan penting untuk dipahami, karena secara de-facto kasus kekerasan pada anak mengalami peningkatan yang signifikan. Pelaku kekerasan terhadap anak juga beragam, mulai dari teman sebaya ( peer-groups ), orang dewasa, keluarga terdekat, dan aparat penegak hukum. Kasus kekerasan dan kejahatan yang dialami oleh anak bisa dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua mereka sendiri, pemerintah, maupun oleh sesama teman sebaya.

Berbagai akibat kekerasan yang dialami oleh anak, baik anak sebagai korban (korban) maupun sebagai pelaku sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak. Gangguan-gangguan psikologis biasanya meliputi trauma, luka batin, kecemasan, perasaan curiga, depresi, frustasi, penyesalan yang sangat mendalam, dendam, pemarah, kehilangan kepercayaan kepada masyarakat, dan kehilangan kepercayaan diri.

Proses Perlindungan terhadap Anak yang berhadapan dengan Hukum
Penggunaan istilah “anak yang berhadapan dengan hukum” membuat anak benar-benar berhadapan dengan hukum yang menyebabkan anak akan alergi dengan hukum. Padahal dalam pandangan seorang anak, hukum diasosiasikan seperti menaruh sepatu pada tempatnya, menutup kembali pintu dalamnya, membereskan buku-buku pelajaran dan sebagainya. Adanya konvensi hak anak yang berisi peraturan-peraturan internasional yang disesuaikan ke dalam hukum nasional dalam bentuk Undang-Undang seringkali menakutkan bila ditinjau dari sudut pandang “berlindung di balik hukum”. Permasalahan klasik yang kita hadapi cenderung mengagung-agungkan HAM, konvensi, dan intervensi.

Proses intervensi tindakan kriminal anak berkaitan erat dengan kebijakan kriminal ( kebijakan kriminal ). ebijakan kriminal merupakan salah satu cara untuk menanggulangi kejahatan, dalam prosesnya mengacu pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non-penal. Selain itu, hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena meninggalkan stigma negatif pada anak. Seorang anak terpaksa harus dihadapkan pada proses hukum yang panjang, mulai dari proses penyidikan oleh kepolisisan, tuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan, dan proses pengasingan di rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Pemberian sanksi pidana terhadap anak perlu mempertimbangkan perlindungan dan kepentingan anak. Termasuk di dalamnya adalah kesejahteraan anak yang tidak boleh diabaikan. Apabila kesejahteraan anak tidak diperhatikan maka akan merugikan anak itu sendiri terutama dalam mendapatkan hak-haknya. Hak-hak anak dalam proses peradilan dapat dipahami sebagai penyesuaian dari keadilan. Dalam konteks ini, melalui pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan landasan filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Pendekatan ini pada prinsipnya menekankan dua aspek. Pertama, anak-anak dianggap belum benar-benar memiliki kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa. Kedua, jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan dididik dibandingkan orang dewasa.

Kamis, 30 Mei 2024

MENGENALI GAYA BELAJAR ANAK

MENGENALI GAYA BELAJAR ANAK

Gaya belajar anak mengacu pada cara anak dalam menangkap, memroses dan memahami informasi. Secara umum, terdapat tiga jenis gaya belajar, yakni visual, auditori, dan kinestetik. Anak-anak dengan gaya belajar visual lebih suka menggunakan gambar, diagram, dan grafik untuk memahami konsep. Mereka cenderung membutuhkan gambar atau papan tulis untuk memudahkan mereka memahami informasi. Anak-anak dengan gaya belajar auditori lebih suka belajar melalui pendengaran. Mereka bisa lebih baik memahami materi dengan mendengarkan penjelasan, diskusi, atau rekaman audio. Anak-anak dengan gaya belajar kinestetik belajar lebih mudah belajar melalui tindakan fisik dan pengalaman langsung. Mereka membutuhkan aktivitas fisik, eksperimen, atau proyek praktis untuk memahami suatu konsep.

Orangtua dan pendidik perlu memahami gaya belajar anak agar dapat memberikan pendekatan pembelajaran yang sesuai dan membantu anak-anak mencapai potensi penuh mereka. Dengan memahami gaya belajar anak orangtua dan pendidik dapat memengaruhi efektivitas proses pembelajaran dan perkembangan anak. Berikut adalah beberapa maaf yang dapat diperoleh dengan memahami gaya belajar anak.

Mengoptimalkan Pembelajaran
Dengan memahami gaya belajar anak, orangtua dan pendidik dapat menyesuaikan metode pengajaran dan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak. Ini dapat membantu anak belajar dengan lebih efektif dan efisien serta mengoptimalkan pembelajaran. Misalnya, jika seorang anak adalah pembelajar visual, guru dapat menggunakan gambar, diagram, atau video dalam pengajaran mereka. Untuk pembelajar auditori, mereka dapat menggunakan ceramah, diskusi, atau rekaman suara. Sedangkan untuk pembelajar kinestetik, guru dapat menggunakan kegiatan fisik, percobaan praktis, atau permainan peran. Dengan menyediakan materi pembelajaran melalui berbagai pendekatan, guru dapat menjangkau berbagai gaya belajar anak dalam satu kelas. Ini membantu memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk belajar dengan cara yang paling efektif bagi mereka. Selain itu, dengan memahami gaya belajar anak, maka guru dapat memberikan umpan balik yang lebih efektif. Misalnya, untuk seorang anak visual, guru dapat memberikan umpan balik dengan menggunakan gambar atau diagram untuk menjelaskan konsep yang mungkin sulit dipahami melalui kata-kata saja.

Dengan membantu anak memahami gaya belajarnya, anak belajar mengidentifikasi strategi pembelajaran yang paling efektif baginya. Ini membantu mereka menjadi pembelajar yang lebih mandiri dan mempersiapkan setiap anak untuk sukses dalam situasi pembelajaran yang berbeda-beda. Selain itu, menginformasikan kepada orangtua tentang gaya belajar anak dapat membantu memperkuat pembelajaran di rumah. Orangtua dapat menggunakan informasi ini untuk mendukung anak mereka dalam pembelajaran di rumah, seperti dengan memberikan bahan bacaan yang sesuai dengan gaya belajar anak atau menciptakan lingkungan belajar yang cocok bagi mereka.

Meningkatkan Motivasi Belajar Anak
Ketika anak merasa bahwa caranya belajar diakui dan diperhatikan, ia akan lebih termotivasi untuk belajar. Menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar anak dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri anak. Memahami gaya belajar anak dapat meningkatkan motivasi belajar anak. Ketika anak belajar dengan gaya yang sesuai dengan preferensinya, anak akan lebih tertarik untuk belajar. Misalnya, anak-anak kinestetik akan lebih termotivasi jika pembelajaran melibatkan kegiatan fisik atau percobaan praktis. Dengan memahami gaya belajar anak dan memberikan kesempatan baginya untuk belajar sesuai dengan gayanya, dapat membantu memperkuat rasa percaya diri anak terhadap proses pembelajaran. Ketika anak merasa berhasil dalam pembelajaran, ia akan lebih percaya diri dan termotivasi untuk terus belajar.

Dengan mendukung anak belajar dengan gaya yang paling efektif, anak memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mencapai kesuksesan dan mengembangkan rasa percaya diri. Guru akan membantu anak merasa lebih termotivasi untuk terus belajar. Ketika anak memahami gaya belajar mereka sendiri, ia dapat belajar mengidentifikasi strategi pembelajaran yang paling efektif bagi dirinya. Ini dapat membantu anak menjadi pembelajar yang lebih mandiri dan meningkatkan motivasinya untuk belajar. Dengan memahami dan memperhatikan gaya belajar anak, guru dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung, menyenangkan, dan memotivasi bagi semua siswa.

Mencegah Frustrasi pada Anak
Anak-anak yang kesulitan memahami materi karena metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya dapat merasa frustrasi dan putus asa. Dengan memahami gaya belajar anak, orangtua dan pendidik dapat menghindari situasi ini dan membantu anak mengatasi kesulitan belajar. Guru dapat menyesuaikan metode pembelajaran sehingga sesuai dengan preferensi belajar anak tersebut. Misalnya, jika seorang anak adalah pembelajar visual, guru dapat menggunakan gambar, diagram, atau video dalam pengajaran mereka. Ini membantu memastikan bahwa materi disampaikan dengan cara yang paling mudah dipahami bagi anak. Anak cenderung merasa frustrasi ketika merasa tidak terlibat dalam pembelajaran atau tidak dapat memahami materi yang diajarkan.

Dengan menyediakan pengalaman pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar anak, anak akan termotivasi belajar sehingga mengurangi tingkat frustasi. Memahami gaya belajar anak juga memungkinkan guru untuk memberikan umpan balik yang lebih efektif. Selain itu, dengan membantu anak memahami gaya belajarnya, anak dapat belajar untuk mengidentifikasi strategi pembelajaran yang paling efektif bagi dirinya. Selain itu, dengan memahami gaya belajar anak, maka guru dapat menghindari menggunakan metode pembelajaran yang mungkin sulit dipahami oleh anak. Ini membantu mengurangi tingkat kesulitan belajar yang dapat menyebabkan frustasi dan membantu anak merasa lebih percaya diri dengan kemampuannya untuk belajar. Dengan memperhatikan gaya belajar anak, guru dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung, inklusif, dan dapat mengurangi tingkat frustasi yang mungkin dialami oleh anak.

Meningkatkan Keterlibatan Orangtua
Ketika orangtua memahami gaya belajar anak, mereka dapat berperan aktif dalam mendukung pembelajaran anak di rumah. Mereka dapat memberikan dukungan yang lebih tepat dan membantu anak menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya. Dengan memahami gaya belajar anak keterlibatan orangtua dalam pembelajaran anak dapat ditingkatkan. Orangtua akan lebih terlibat dalam pembelajaran anak jika mereka memahami gaya belajar yang efektif bagi anak. Guru dapat berkomunikasi dengan orangtua tentang gaya belajar anak dan memberikan saran tentang bagaimana orangtua dapat mendukung pembelajaran anak di rumah. Orangtua dapat berkolaborasi dengan guru dalam memberikan dukungan yang sesuai dengan gaya belajar anak di rumah. Misalnya, jika seorang anak adalah pembelajar visual, orangtua dapat menciptakan lingkungan belajar di rumah yang kaya dengan bahan bacaan, gambar, atau video.

Memahami gaya belajar anak membuat orangtua menjadi lebih percaya diri dalam mendukung pembelajaran anak. Mereka akan lebih mampu memberikan bantuan yang sesuai dengan gaya belajar anak dan lebih terlibat dalam proses pembelajaran. Dengan memahami gaya belajar anak, orangtua dapat berbagi pengalaman dan strategi yang berhasil dengan guru dan orangtua lainnya. Ini menciptakan kesempatan untuk pertukaran informasi dan kolaborasi yang dapat meningkatkan keterlibatan orangtua secara keseluruhan. Selain itu, dengan memahami gaya belajar anak, orangtua memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan belajar anak. Mereka akan lebih sensitif terhadap cara terbaik untuk mendukung pembelajaran anak dan akan lebih terlibat dalam memberikan dukungan yang diperlukan.

Mengembangkan Potensi Anak secara Optimal
Dengan memahami gaya belajar anak, orangtua dan pendidik dapat membantu anak mengembangkan potensi secara optimal. Mereka dapat menemukan cara terbaik bagi anak untuk belajar dan berkembang, sehingga memungkinkan bagi anak untuk mencapai kesuksesan akademis dan pribadi. Guru dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan anak dalam proses pembelajaran. Ini memungkinkan guru untuk memberikan dukungan tambahan di area yang mungkin memerlukan perhatian lebih, dan memanfaatkan kekuatan anak untuk mengembangkan potensi dirinya. Dengan menyediakan pengalaman pembelajaran yang relevan dengan gaya belajar anak, anak akan lebih termotivasi untuk belajar dan mengembangkan potensinya. Guru juga akan dapat menyediakan pembelajaran yang beragam untuk mencakup preferensi belajar semua siswa. Ini membuat setiap anak mendapat kesempatan untuk belajar dengan cara yang paling efektif bagi mereka, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal. Dengan membantu anak memahami gaya belajarnya, anak belajar mengidentifikasi strategi pembelajaran yang paling efektif baginya. Ini membantu anak menjadi pembelajar yang mandiri dan mengembangkan potensi secara mandiri. Dengan memperhatikan dan memahami gaya belajar anak, guru dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung, inklusif, dan dapat mengembangkan potensi anak secara maksimal.

Dengan memperhatikan dan memahami gaya belajar anak, orangtua dan pendidik dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung dan memungkinkan setiap anak untuk berkembang secara optimal.

Rabu, 29 Mei 2024

CARA MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK

CARA MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK

Manusia adalah mahluk sosial. Secara alamiah manusia butuh berinteraksi, berkomunikasi, dan membentuk hubungan dengan orang lain guna memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis, dan emosionalnya. Dalam proses komunikasi dan interaksi tersebut, individu perlu memiliki keterampilan sosial. Keterampilan sosial merujuk pada suatu kondisi dimana individu mampu berkomunikasi, berinteraksi dan membangun hubungan yang baik dengan orang lain dalam konteks sosial, dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Individu yang yang memiliki keterampilan sosial yang baik cenderung mampu berkomunikasi dengan jelas dan efektif, memahami emosi orang lain, menunjukkan empati, bekerja sama dalam tim, menyelesaikan konflik dengan baik, dan membangun hubungan interpersonal yang sehat. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki keterampilan sosial yang baik akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, kesulitan memahami dan menanggapi emosi orang lain, cenderung disisihkan, sulit berintegrasi dalam kelompok sosial, dan kemungkinan akan mengalami konflik interpersonal. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dan bermakna dengan orang lain.
Keterampilan sosial tidak hanya perlu dimiliki oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Jika seorang anak tidak memiliki keterampilan sosial yang baik, ia akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebayanya, kesulitan dalam memahami perasaan orang lain, cenderung menunjukkan perilaku agresif, atau menarik diri dari interaksi sosial. Itulah sebabnya, keterampilan sosial penting dimiliki individu sejak kecil. Jika individu tidak memiliki keterampilan sosial yang memadai ketika ia berusia kanak-kanak, maka ketika remaja dan dewasa ia akan semakin kesulitan dalam membangun relasi yang sehat dengan orang lain, termasuk relasi romantis. Ada beberapa cara yang perlu diperhatikan guna membantu anak mengembangkan keterampilan sosial, antara lain:

Menonton Video
Dengan menonton video, anak dapat mengamati bagaimana karakter dalam video tersebut berinteraksi satu sama lain, menyelesaikan konflik, dan menunjukkan empati. Dalam video juga sering digambarkan berbagai emosi dan reaksi sehingga anak dapat belajar mengenali dan memahami berbagai emosi, baik emosi dirnyai sendiri maupun orang lain. Ini berguna bagi anak untuk mengembangkan rasa empati pada empati dan mengelola emosi. Selain itu, dalam video juga ditampilkan berbagai situasi sosial yang mungkin belum pernah dialami anak. Misalnya, bagaimana bertindak di sekolah, cara berinteraksi dengan teman baru, atau bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat dengan sopan. Melalui dialog dalam video, anak belajar tentang percakapan, termasuk bagaimana memulai pembicaraan, mendengarkan secara aktif, dan merespons dengan tepat. Banyak video edukatif yang menunjukkan contoh perilaku sosial yang positif, seperti berbagi, berkolaborasi, dan membantu orang lain. Dari sini anak dapat belajar menerapkan perilaku serupa dalam kehidupan sehari-hari.

Menonton video membutuhkan konsentrasi dan perhatian. Konsentrasi dan perhatian penting dalam interaksi sosial yang baik agar dapat memperhatikan isyarat sosial dan merespons dengan tepat. Jika anak didampingi saat menonton video, maka itu dapat menjadi kesempatan yang bagus untuk berdiskusi. Anak dapat diajak untuk berbicara tentang apa yang ia lihat, pelajari, dan bagaimana ia dapat menerapkan pelajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dilakukan dengan cara bertanya kepada anak. Beri kesempatan kepada anak untuk menyampaikan pendapatnya dan jangan hakimi pendapatnya! Dari video itu, bantu anak untuk memahami bahwa keterampilan sosial adalah penting. Misalnya: bicara dengan baik, mendengarkan dan memerhatikan orang yang sedang berbicara, tidak memotong ucapan orang yang sedang berbicara, dan lain-lain.

Dari video yang menampilkan berbagai latar belakang budaya, anak dapat belajar memahami dan menghargai keberagaman. Pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaam bermanfaat untuk membangun interaksi sosial yang sehat. Visualisasi dan auditori yang ditampilkan video membantu anak dalam memahami konsep sosial yang abstrak dengan lebih baik. Misalnya, anak dapat melihat dan mendengar bagaimana permintaan maaf atau ucapan terima kasih disampaikan dengan tulus. Bagi beberapa anak, terutama yang pemalu atau cemas, menonton video menjadi cara efektif untuk belajar dan mempraktikkan keterampilan sosial sebelum mencobanya dalam kehidupan nyata.

Bermain Peran (Role Play) 
Bermain peran adalah cara yang efektif untuk membantu anak mengembangkan keterampilan sosial. Anak akan dapat lebih memahami interaksi sosial dan bagaimana berkomunikasi dengan orang lain, dan mensimulasikan situasi sosial nyata dalam lingkungan yang aman dan terkendali. Ini membantu anak dalam memberikan respons yang tepat tanpa takut konsekuensi. Dengan bermain peran anak juga belajar untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Ini dapat meningkatkan kemampuan anak dalam berempati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. Selain itu, bermain peran mendorong anak untuk berbicara, mendengarkan, dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan keterampilan berbicara dan mendengarkan yang efektif, serta memahami isyarat non verbal. Dari cerita yang diperankan anak di mana ada masalah, tantangan, atau konflik yang perlu diselesaikan, anak belajar untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dan mengambil keputusan.

Selain itu, bermain peran membantu anak mengenali dan mengelola emosinya sendiri serta memahami emosi orang lain. Ini menolong anak dalam mengendalikan diri dan melakukan interaksi sosial yang sehat. Melalui bermain peran, anak juga dapat belajar tentang norma sosial, tata krama, dan etiket yang berlaku dalam berbagai situasi. Anak akan belajar kapan harus berbicara, bagaimana menyapa orang, dan cara bertindak dalam situasi tertentu. Bermain peran memberikan kesempatan kepada anak untuk berlatih situasi sosial dengan berulang kali. Bila anak sukses dalam bermain peran, maka ini dapat meningkatkan kepercayaan diri anak dalam situasi sosial sebenarnya. Dengan bermain peran, anak juga dapat belajar bekerja sama dan berkolaborasi.

Bermain Bersama
Bermain bersama menjadi kesempatan bagi anak untuk berinteraksi langsung dengan teman sebaya. Ini membantu anak belajar cara berkomunikasi, bergiliran, dan berbagi. Permainan membutuhkan kerja sama dan kolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Dari sini anak belajar pentingnya bekerja sama, berbagi tugas, dan menyelesaikan masalah. Saat bermain bersama, anak belajar untuk mengenali dan memahami perasaan teman-temannya, sehingga anak dapat belajar mengembangkan empati dan kemampuan untuk merespons dengan tepat kebutuhan dan perasaan orang lain. Bermain kadang kala menimbulkan situasi konflik, seperti perselisihan tentang aturan permainan atau giliran bermain. Dari hal ini anak akan belajar bagaimana menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif dan damai.

Bermain bersama melibatkan berbagai aspek pembelajaran sosial dan emosional, seperti pengendalian diri, kesabaran, dan toleransi. Dengan demikian, anak dapat belajar mengelola emosi dan berinteraksi dengan cara yang positif. Selama bermain, anak harus berkomunikasi dengan teman-temannya, baik untuk menyampaikan ide, menjelaskan aturan, atau menyelesaikan masalah. Ini akan meningkatkan keterampilan berbicara dan mendengarkan pada anak. Melalui interaksi dalam permainan, anak juga akan belajar tentang norma dan aturan sosial, seperti menghormati giliran, mendengarkan orang lain, dan mengikuti aturan permainan.

Berpartisipasi dalam permainan kelompok dapat meningkatkan rasa percaya diri anak. Ketika anak berhasil berinteraksi dan diterima oleh teman-temannya, ini akan meningkatkan rasa percaya diri anak. Bermain bersama memerlukan adaptasi terhadap berbagai situasi dan perilaku orang lain, sehingga anak dapat belajar menjadi fleksibel dan menyesuaikan diri dengan dinamika kelompok. Melalui bermain bersama, anak membentuk hubungan dan persahabatan yang mendalam dan sehat. Anak akan belajar pentingnya dukungan sosial dan bagaimana menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Mengajarkan Keterampilan Komunikasi
Dengan keterampilan komunikasi yang baik, anak- dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, dan kebutuhannya dengan jelas. Ini penting guna membangun interaksi sosial yang efektif dan menghindari kesalahpahaman. Mengajarkan anak untuk mendengarkan dengan penuh perhatian membantu anak memahami apa yang orang lain katakan. Ini akan meningkatkan rasa empati dan kemampuan untuk merespons dengan tepat. Selain itu, keterampilan komunikasi yang baik memungkinkan anak untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif. Anak akan belajar berbicara dengan tenang dan mencari solusi bersama.

Komunikasi yang efektif membantu anak membangun dan memelihara hubungan yang positif dengan orang kain. Anak belajar cara memulai percakapan, menjaga hubungan baik, dan menunjukkan dukungan. Selain komunikasi verbal, memahami isyarat non verbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan nada suara sangat penting. Ini membantu anak menginterpretasikan perasaan dan niat orang lain dengan lebih baik. Anak yang terampil dalam komunikasi dapat menyesuaikan caranya berbicara sesuai dengan situasi dan audiens. Misalnya: bagaimana berbicara dengan guru, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya.

Anak yang percaya diri dalam keterampilan komunikasi cenderung lebih berpartisipasi dalam interaksi sosial. Rasa percaya diri yang sehat membantu anak bergaul dengan lebih baik dan mampu menghadapi berbagai situasi sosial. Keterampilan komunikasi yang baik mencakup kemampuan untuk mendengarkan dan memahami perspektif orang lain. Ini membantu anak mengembangkan rasa empati sehingga dapat merespons dengan cara yang penuh pengertian. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik cenderung merasa lebih nyaman dalam situasi sosial. Ia tahu bagaimana memulai dan mempertahankan percakapan, sehingga mengurangi kecemasan sosial. Selain itu, melalui diskusi dan percakapan, anak belajar untuk berpikir secara kritis, menyusun argumen, dan mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda. Ini penting untuk interaksi sosial yang bermakna dan konstruktif.

Memberi Contoh yang Positif
Anak senang meniru perilaku orang dewasa dan teman sebaya. Ketika anak melihat contoh positif dalam interaksi sosial, ia belajar bagaimana berperilaku dengan cara yang sama. Selain itu, dengan melihat contoh nyata, anak memahami bagaimana menerapkan teori atau nasihat yang ia dengar. Misalnya, anak diminta untuk bersikap sopan, tetapi ia juga melihat bagaimana sopan santun diterapkan dalam interaksi sehari-hari. Melalui contoh positif, anak juga dapat melihat bagaimana keterampilan sosial diterapkan dalam berbagai situasi dan konteks. Ini membantu anak memahami kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan tersebut.

Dengan melihat orang dewasa menunjukkan empati, pengertian, dan respon emosional yang tepat, anak belajar mengenali dan mengelola emosi sendiri serta merespon emosi orang lain dengan tepat. Ia juga akan belajar bagaimana berbicara dengan jelas, mendengarkan secara aktif, dan merespon dengan tepat. Contoh positif membantu membentuk kebiasaan perilaku sosial yang baik. Anak akan belajar bahwa perilaku positif tidak hanya diharapkan, tetapi juga dihargai. Anak yang melihat contoh positif akan merasa lebih percaya diri dalam meniru perilaku tersebut. Ia melihat bahwa perilaku positif dihargai dan diterima, yang mendorong mereka untuk mengulangi perilaku yang sama. Ketika anak menghadapi situasi sosial yang baru atau menantang, ia akan mengingat dan merujuk pada contoh positif yang ia lihat sebelumnya. Ini memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana berperilaku. Melihat contoh positif juga membantu mengurangi ketidakpastian tentang bagaimana bertindak dalam situasi sosial tertentu. Anak belajar apa yang diharapkan darinya dan bagaimana ia dapat memenuhi harapan tersebut. Contoh positif dapat menjadi titik awal untuk diskusi dan refleksi. Anak dapat diajak untuk berbicara tentang apa yang ia perhatikan, mengapa perilaku tertentu adalah positif, dan bagaimana ia dapat menerapkan pelajaran tersebut dalam hidup sehari-hari.

Melatih Anak Mengembangkan Sikap Empati
Empati artinya anak memahami dan dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dengan empati anak akan dapat merespons dengat tepat dan menjadi peka dalam interaksi sosial. Anak yang memiliki empati cenderung membangun hubungan yang lebih kuat dan positif. Ia mampu menjalin ikatan emosional yang sehat dengan teman-temannya dan anggota keluarga, dan mampu mendengarkan dengan baik dan dapat memahami perspektif orang lain. Hal ini akan meningkatkan kualitas komunikasi dan membantu dalam menyelesaikan konflik secara efektif. Dengan empati, anak dapat mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Empati membuat anak memiliki kesadaran sosial dan tanggung jawab terhadap orang lain. Ia peka terhadap kebutuhan dan keadaan orang di sekitarnya, mampu mengelola emosi, tidak terlibat dalam perilaku bullying atau agresif, memahami dampak negatif dari tindakannya terhadap orang lain dan memilih untuk bertindak dengan cara yang positif, senang menolong orang lain, menunjukkan kebaikan, serta tindakannya mendukung kesejahteraan orang lain. Selain itu, anak yang berempati lebih efektif dalam bekerja sama dengan orang lain. Ia menghargai kontribusi setiap individu dan lebih mampu bekerja dalam tim dengan harmonis.

Memberi Umpan Balik yang Konstruktif
Umpan balik yang konstruktif memberikan pemahaman yang jelas kepada anak tentang apa yang ia lakukan dengan baik dan apa yang perlu diperbaiki. Ini membantu anak mengetahui apa yang diharapkan dalam interaksi sosial. Anak belajar mengenali tindakan dan kata-katanya, serta dampaknya terhadap orang lain. Umpan balik yang konstruktif mengajarkan anak bagaimana memberikan dan menerima kritik secara efektif. Ia belajar berkomunikasi secara terbuka dan jujur tanpa menyakiti perasaan orang lain. Dengan mengetahui aspek-aspek perilaku yang perlu diperbaiki, anak dapat menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Umpan balik membantu anak belajar dari kesalahan dan mengembangkan perilaku yang lebih positif.

Umpan balik yang konstruktif tidak hanya menyoroti area untuk perbaikan tetapi juga mengakui kekuatan dan prestasi anak. Ini meningkatkan kepercayaan diri anak dan mendorongnya untuk terus berusaha. Umpan balik yang spesifik dan terarah dapat memotivasi anak untuk mengembangkan keterampilan baru. Misalnya, jika anak diberi tahu bahwa ia perlu belajar mendengarkan, maka ia akan lebih fokus pada hal tersebut. Memberi umpan balik juga melibatkan mendengarkan perspektif anak dan memahami perasaannya. Ini mengajarkan anak untuk juga memberikan umpan balik dengan cara yang empatik dan penuh pengertian. Dengan memberikan umpan balik secara konsisten, ana dapat membentuk kebiasaan perilaku yang baik. Anak belajar apa yang dianggap sebagai interaksi sosial yang tepat dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks kelompok, umpan balik yang konstruktif membantu memperbaiki dinamika sosial. Anak belajar untuk bekerja sama, menghargai kontribusi orang lain, dan memperbaiki caranya berinteraksi dalam kelompok. Anak yang menerima umpan balik konstruktif belajar untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ia mengerti bahwa perilakunya memiliki konsekuensi dan bahwa ia bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Dengan memberikan umpan balik yang konstruktif, anak dibantu untuk memahami perilaku sosial yang diinginkan dan meningkatkan keterampilan sosial.

Mendorong Anak untuk Berpartisipasi Aktif dalam Aktivitas Kelompok
Aktivitas kelompok memerlukan kerja sama dan kolaborasi. Anak belajar bekerja sama, berbagi tugas, dan menghargai kontribusi setiap anggota kelompok. Melalui interaksi dalam kelompok, anak juga belajar untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mereka belajar untuk merespons dengan cara yang empatik dan penuh pengertian. Dalam aktivitas kelompok, konflik dan perbedaan pendapat mungkin terjadi, sehingga anak belajar cara menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif, melalui negosiasi dan kompromi.

Partisipasi dalam kelompok memberi anak kesempatan untuk mengambil peran kepemimpinan dan tanggung jawab. Ia belajar untuk memimpin dan menghormati anggota kelompok. Berpartisipasi aktif dalam aktivitas kelompok membantu anak membangun kepercayaan diri. Dalam aktivitas kelompok ada berbagai situasi sosial di mana anak dapat mempraktikkan dan mengasah keterampilan sosial, seperti berbagi, bergiliran, dan menunjukkan dukungan kepada teman. Dalam kelompok, anakj uga dapat belajar dari perilaku dan keterampilan teman-temannya. Ia akan melihat berbagai pendekatan terhadap masalah dan tugas, dan memperluas pemahaman dan kemampuan sosialnya. Aktivitas kelompok sering kali menantang dan membutuhkan usaha yang berkelanjutan. Dengan demikian anak belajar ketahanan, kesabaran, dan cara menghadapi kegagalan dengan sikap yang positif. Dalam kelompok, anak bertemu dengan individu dari latar belakang yang berbeda dengan berbagai pandangan dan keterampilan sehingga anak dapat belajar menghormati dan menghargai perbedaan.

Melatih Anak untuk Mengembangkan Keterampilan Resolusi Konflik
Melalui latihan ini, anak belajar mengidentifikasi emosi, mengungkapkannya secara sehat, dan merespons dengan empati. Resolusi konflik membutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif, termasuk mendengarkan dengan penuh perhatian, menyampaikan pikiran dan perasaan dengan jelas, dan mencari solusi bersama. Ini membantu anak menjadi komunikator yang baik. Dalam mengatasi konflik, anak belajar memahami perspektif dan perasaan orang lain. Hal ini dapat mengembangkan kemampuan empati anak dan membantunya merespons dengan tepat.

Resolusi konflik memerlukan pemikiran kritis dan kreatif yang memuaskan bagi semua pihak. Anak belajar untuk mengevaluasi berbagai opsi, memilih strategi yang tepat, dan mengeksekusi rencana tersebut. Dengan mengatasi konflik secara konstruktif, anak memperkuat hubungan yang sehat dengan orang lain. Anak belajar cara bekerja sama, menghormati perbedaan, dan membangun kepercayaan dan rasa saling menghargai. Melalui latihan resolusi konflik, anak juga belajar menghadapi ketidaknyamanan dan ketegangan dengan keberanian. Anak dapat belajar mengembangkan ketahanan mental dan kepercayaan diri untuk mengatasi tantangan sosial. Dengan memiliki keterampilan resolusi konflik, anak juga cenderung menghindari konflik yang merugikan dan destruktif. Ia belajar untuk mengelola konflik sebelum menjadi parah atau merugikan.

Resolusi konflik mengajarkan anak bertanggung jawab atas tindakan dan kata-katanya. Ia belajar bahwa tindakannya memiliki konsekuensi dan bahwa ia bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Dengan melatih anak dalam resolusi konflik, dapat membentuk perilaku yang baik dalam interaksi sosial. Anak belajar menghadapi konflik dengan cara yang produktif dan damai. Selain itu, anak yang terampil dalam mengatasi konflik cenderung memiliki kesejahteraan mental yang lebih baik karena ia mampu mengelola stres dan konflik dengan cara yang sehat dan efektif.

Memberi Anak Kesempatan untuk Berbicara di Depan Umum
Berbicara di depan umum membantu anak membangun kepercayaan diri. Ketika anak mampu mengatasi rasa takut dan berhasil menyampaikan pesan, rasa percaya diri anak akan meningkat. Ini akan berdampak positif pada interaksi sosial anak sehari-hari. Berbicara di depan umum meningkatkan kemampuan berbicara dengan jelas dan efektif. Anak belajar mengorganisir pikiran, berbicara dengan lancar, dan menggunakan bahasa tubuh yang sesuai. Anak juga belajar mendengarkan umpan balik dan tanggapan dari audiens. Ini dapat meningkatkan keterampilan mendengarkan aktif. Selain itu, berbicara di depan umum membantu anak mengelola kecemasan dan stres. Anak belajar teknik relaksasi dan pengendalian diri yang dapat digunakan dalam situasi sosial lainnya. Berbicara di depan umum membutuhkan pemahaman tentang audiens dan memahami perspektif orang lain. Untuk berbicara di depan umum, anak perlu berpikir kritis tentang topik yang dibahas, menyusun argumen yang logis, dan menjawab pertanyaan dengan bijaksana. Ini mengasah kemampuan berpikir kritis anak.

Kesempatan berbicara di depan umum memberi anak pengalaman memimpin. Anak belajar mengambil inisiatif, memimpin diskusi, dan mempengaruhi orang lain secara positif. Ketika berbicara di depan umum, anak sering kali perlu menyampaikan pesan yang relevan dan bermakna bagi audiens. Dari hal ini anak beljar memahami dan merasakan kebutuhan serta meningkatkan empati. Banyak aktivitas berbicara di depan umum melibatkan kerja sama dalam kelompok, seperti diskusi kelompok atau presentasi tim. Dengan demikian, anak belajar bekerja sama, berbagi ide, dan mendukung satu sama lain. Menghadapi tantangan berbicara di depan umum mengajarkan anak-anak untuk menjadi lebih berani dan tangguh. Anak belajar menghadapi ketakutan dan kegagalan. Ini berguna untuk memperkuat kemampuan anak dalam menghadapi tantangan sosial lainnya.

Mendorong Anak untuk Membangun Pertemanan yang Positif
Teman yang positif memberikan contoh perilaku sosial yang baik. Anak memiliki kecenrenungan meniru perilaku teman-temannya. Dengan demikian, memiliki teman yang positif membantu anak mengembangkan kebiasaan sosial yang baik. Dalam pertemanan yang positif ada dukungan emosional yang kuat dan positif, sehingga anak didukung, dihargai, dan dipahami. Hal ini penting untuk kesehatan emosional dan kepercayaan diri anak. Interaksi dengan teman yang positif mendorong anak untuk berkomunikasi dengan cara yang sehat dan konstruktif. Anak belajar cara mendengarkan, berbicara dengan jelas, dan menyampaikan pendapat dengan tepat. Selain itu, teman yang baik mengajarkan empati dan kepedulian. Melalui hubungan yang positif, anak untuk memahami dan merespons perasaan dan kebutuhan orang lain dengan cara yang empatik. Dalam pertemanan yang positif, anak juga belajar menyelesaikan konflik dengan cara yang damai dan konstruktif. Belajar bernegosiasi, berkompromi, dan mencari solusi yang saling menguntungkan.

Teman yang baik mendorong kerja sama dan kolaborasi sehingga anak dapat belajar bekerja dalam tim, berbagi tugas, dan mencapai tujuan bersama. Pertemanan yang positif membantu memperkuat nilai dan norma sosial yang baik. Dengan demikian, anak belajar tentang kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, dan integritas dari teman-temannya. Teman yang positif memberikan dorongan dan pujian yang membangun. Ini membantu anak merasa lebih percaya diri dan nyaman dalam situasi sosial. Anak merasa lebih aman dan tenang ketika memiliki teman yang mendukung dan dapat diandalkan. Teman yang positif mendorong keterlibatan dalam aktivitas yang bermanfaat dan konstruktif sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan pribadi dan sosial anak. Pertemanan yang positif membantu anak membentuk identitas sosial yang sehat.

Selasa, 28 Mei 2024

MENGATASI PERILAKU BICARA KASAR DAN KOTOR PADA ANAK

MENGATASI PERILAKU BICARA KASAR DAN KOTOR PADA ANAK

Perilaku dalam bentuk bicara kasar dan kotor tentu tidak boleh dianggap sepele. Jika tidak segera diatasi, perilaku ini akan melekat pada diri anak hingga ia dewasa. Hal ini berdampak buruk bagi perkembangan anak. Berbagai label akan dilekatkan pada dirinya, seperti anak kurang ajar, anak yang tidak punya sopan santun, anak yang tidak punya aturan, dan lain sebagainya. Anak juga akan mengalami masalah serius dalam perkembangan sosial. Anak-anak lain tidak anak mau berteman dengannya. Sangat mungkin anak akan berkonflik dengan teman-temannya, bahkan menjadi terlibat dalam perkelahian. Orang yang ia maki mungkin saja menjadi tersinggung dan marah, sehingga balas memakinya atau memukulnya. Orangtua dari anak-anak lain mungkin saja melarang anak-anak mereka untuk berteman dengan anak ini karena tidak ingin anak mereka mendapat pengaruh buruk. Dalam jangka panjang, perilaku bicara kasar dan kotor pada anak akan berdampak buruk pada relasi sosial, pendidikan, karir, dan hubungan romantisnya. Bahkan, tidak mustahil anak jadi harus berhadapan dengan hukum karena perilakunya tersebut. Itulah sebabnya perlu dilakukan upaya preventif guna mencegah terjadinya perilaku bicara kasar dan kotor pada anak, dan jika anak sudah menunjukkan perilaku ini, maka harus segera diatasi.

Untuk dapat mengatasi perilaku bicara kasar dan kotor pada anak, perlu dipahami apa yang menyebabkan anak berperilaku demikian. Biasanya, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak bicara kasar dan kotor, antara lain:

Meniru
Anak-anak, terutama anak-anak yang berusia balita suka meniru. Meniru adalah cara mereka belajar perilaku baru. Anak-anak belajar dengan cara mendengar, mengamati, dan meniru apa yang mereka dengar dan lihat. Apa yang didengar dan dilihat oleh anak berasal dari beberapa sumber, antara lain orangtua, saudaranya, orang lain yang tinggal serumah dengannya, tontonan melalui TV,youtube, games, dan media sosial, serta teman-temannya, baik teman di lingkungan rumah maupun teman di sekolah. Apabila ada salah satu sumber menunjukkan perilaku bicara kasar dan kotor, maka anak akan meniru perilaku tersebut. Perilaku ini akan muncul dengan intensitas yang lebih besar jika beberapa sumber atau ada tokoh dominan berperilaku demikian. Dalam hal ini, perilaku anak merupakan hasil meniru (mengimitasi) apa yang ia lihat dan dengar.

Ketidakmampuan Berkomunikasi secara Asertif
Komunikasi asertif merujuk pada metode komunikasi dimana individu mampu menyampaikan pendapat, keinginan, dan perasaannya dengan baik kepada orang lain. Salah satu akibat jika anak tidak memiliki keterampilan berkomunikasi secara asertif adalah ia akan berbicara dengan kasar dan kotor. Ini terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuannya berkomunikasi dengan baik atau karena respon orang lain tidak seperti yang ia harapkan.

Ketidakmampuan Meregulasi Emosi
Anak yang tidak memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik berpotensi untuk berbicara kasar dan kotor. Ketika mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, ia akan tersinggung, kesal, dan marah. Ketidakmampuan anak meregulasi emosi negatif berpotensi membuatnya berbicara kasar dan kotor.

Mencari Perhatian
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, ada kalanya anak ingin diperhatikan dan disanjung. Anak senang jika diperhatikan dan disanjung. Bahkan, anak bisa merasa cemburu jika orang lain lebih diperhatikan daripada dirinya. Contoh: Ketika seorang anak punya adik yang baru lahir dan semua orang termasuk kedua orangtuanya sedemikian memberikan perhatian kepada adik bayinya itu, anak akan merasa diabaikan dan cemburu. Jika orang-orang di sekitarnya atau orangtuanya tidak menyadari hal ini, maka ada kemungkinan anak akan berbicara kasar dan kotor. Ia melakukan hal ini semata-mata untuk mencari perhatian.

Ingin Diterima
Bagi anak yang menjelang remaja, penerimaan teman sebaya merupakan hal yang sangat penting. Jika dalam kelompok teman sebayanya bicara kasar dan kotor dianggap biasa apalagi keren, maka bicara kasar dan kotor akan dilakukan oleh anak demi diterima oleh teman-temannya.

Pola Asuh
Pola asuh yang tidak tepat, misalnya: orangtua tidak dapat menjadi panutan yang baik, pada anak tidak ditanamkan nilai-nilai moral, budaya dan agama, tidak ada aturan yang jelas di rumah, tidak ada disiplin, orangtua sangat sibuk di luar rumah sehingga nyaris tidak memiliki waktu untuk anak, atau anak dibiarkan berbuat sesuka hati, berpontensi membuat anak menjadi berperilaku bermasalah, termasuk senang berbicara kasar dan kotor.

Tidak Memiliki Keterampilan Resolusi Konflik
Anak yang tidak memiliki keterampilan resolusi konflik berpotensi untuk bicara kasar dan kotor. Ketidaktahuan dan ketidakmampuannya dalam menyelesaikan masalah dapat membuatnya tertekan dan kebingungan. Hal ini dapat menjadi faktor pemicu anak untuk berkata-kata tidak pantas.

Masalah Perkembangan
Adanya masalah perkembangan pada anak dapat membuat anak menjadi berbicara kasar dan kotor. Anak-anak yang menyandang retardasi mental, dimana tingkat kecerdasan intelektual mereka rendah, berpotensi menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-noma sosial, termasuk berbicara kasar dan kotor. Hal ini terjadi karena anak tidak memiliki pemahaman yang baik tentang mana yang baik, mana yang tidak baik, mana yang pantas, mana yang tidak pantas, mana yang boleh, mana yang tidak boleh, dan lain sebagainya. Jadi, bicara kasar dan kotor yang ia lakukan merupakan akibat ketidakmengertiannya. Anak-anak yang penyandang tunalaras juga berpotensi untuk bicara kasar dan kotor. Tunalaras merujuk pada kondisi dimana anak mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan bertingkah laku tidak sesuai dengan aturan.

Gangguan Kesehatan Mental
Anak yang mengalami gangguan kesehatan mental berpotensi berbicara kasar dan kotor. Hal ini terjadi karena gangguan kesehatan mental membuat anak tidak dapat berpikir dengan baik dan tidak mampu mengelola emosi.

Karena perilaku bicara kasar dan kotor adalah perilaku yang tidak dapat diterima masyakat dan merugikan perkembangan anak, maka perlu dilakukan upaya-upaya preventif. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain sebagai berikut:

Menciptakan Lingkungan yang Kondusif
Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan anak. Lingkungan kondusif adalah lingkungan di mana anak aman secara fisik dan psikis. Di sana anak dicintai, diterima, dihargai, dan dilindungi. Dalam lingkungan yang kondusif tidak ada kata caci maki yang ditujukan kepada anak atau kepada siapa pun. Di sana tidak ada hal-hal yang dapat menstimulasi anak untuk berbicara kasar dan kotor.

Pola Asuh yang Tepat
Pola asuh yang tepat adalah pola asuh dimana pada anak ditanamkan nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari norma-norma masyarakat, budaya, dan ajaran agama yang dianut oleh anak dan orangtuanya. Dalam pola asuh juga ada contoh konkrit perilaku baik yang ditunjukkan oleh orangtua. Dengan demikian anak dapat mempraktekkan perilaku baik sebagaimana yang ditunjukkan oleh orangtua.

Melatih Anak Berkomunikasi Asertif
Manusia adalah mahluk sosial dimana untuk dapat hidup dan memenuhi kebutuhannya ia membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya individu harus berelasi dengan individu lainnya. Agar relasi yang sehat dapat diciptakan, maka dibutuhkan komunikasi yang sehat juga. Individu harus mampu mengkomunikasikan pendapat, kebutuhan, dan perasaannya dengan baik kepada pihak-pihak tertentu. Individu juga harus dapat merespon dengan baik apa yang dikomunikasi orang lain kepadanya. Oleh karena itu, sejak kecil individu harus dilatih berkomunikasi secara asertif. Metode komunikasi ini juga mencakup kemampuan untuk tetap tenang dan berjiwa besar ketika pendapat, ide, atau keinginan individu ditolak oleh orang lain. Anak yang memiliki keterampilan berkomunikasi asertif akan terhindar dari perilaku bicara kasar dan kotor.

Melatih Anak dalam Regulasi Emosi
Adalah wajar jika karena kondisi-kondisi tertentu timbul emosi negatif pada anak, misalnya kecewa atau marah. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti anak boleh berbicara kasar dan kotor. Apabila sesuatu yang mengecewakan direspon dengan kata-kata kasar dan kotor, maka tidak akan terjadi penyelesaian masalah. Sebaliknya, akan timbul konflik dan masalah baru.

Melatih Anak Keterampilan Resolusi Konflik
Kadang kala konflik tidak dapat dihindari, baik konflik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Oleh karena itu, individu perlu memiliki keterampilan resolusi konflik. Jika individu tidak memiliki keterampilan resolusi konflik, maka akan menimbulkan masalah serius yang merugikan individu dan orang lain, salah satunya perilaku bicara kasar dan kotor. Itulah sebabnya, anak perlu dilatih agar memiliki keterampilan resolusi konflik.

Berkonsultasi kepada Ahli
Anak-anak dengan gangguan perkembangan dan anak-anak dengan gangguan kesehatan mental berpotensi untuk berperilaku bicara kasar dan kotor. Jika anak mendapatkan diagnosa gangguan perkembangan atau gangguan kesehatan mental, maka guna menghindarkan mereka dari berperilaku yang tidak baik, orangtua perlu berkonsultasi dengan ahli untuk mendapatkan nasihat atau pertolongan. Misalnya: terapi perilaku, terapi obat-obatan, terapi wicara, dan lain-lain. Datangilah ahli yang memiliki kompetensi dalam hal ini, misalnya: konselor, dokter, atau psikolog.

Jika diketahui anak bicara kasar dan kotor, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

Jangan Emosional
Ketika anak berbicara kasar dan kotor, orangtua harus berusaha untuk tetap tenang. Ketidaktenangan atau sikap emosional orangtua tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, dapat menimbulkan masalah baru, seperti: orangtua menjadi berbicara kasar dan kotor, atau menjadi melakukan kekerasan pada anak.

Jangan Melakukan Kekerasan
Kekerasan kepada anak tidak dibenarkan dengan alasan apapun. Mendidik atau mendisiplin anak berbeda dengan kekerasan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan mendisiplin anak dengan hukuman fisik yang tidak mendidik, misal: memukul anak dengan membabi buta, menendang, menampar, mengurung anak di ruang yang gelap sendirian, menghukum dengan tidak memberi makan, dan hukuman fisik lainnya. Model ini berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan anak. Dalam banyak kasus, pendekatan disiplin seperti ini mendatangkan kesakitan dan kematian pada anak.

Cari Tahu Faktor Penyebab Terjadinya Perilaku
Selalu ada yang menjadi faktor penyebab timbulnya perilaku bicara kasar dan kotor pada anak. Jadi, langkah bijaksana dalam mengatasi perilaku ini adalah mencari tahu apa penyebabnya. Dengan demikian, perilaku bermasalah ini dapat diselesaikan. Misalnya: jika ternyata anak berbicara kasar dan kotor karena marah, maka anak perlu dibantu untuk mengidentifikasi penyebab amarahnya dan bagaimana mengelola amarah tersebut dengan tepat.

Kolaborasi dengan Pihak Lain
Ada kalanya orangtua perlu berkolaborasi dengan pihak lain terkait perilaku bicara kasar dan kotor pada anak. Misalnya: kolaborasi dengan pekerja rumah tangga, guru les anak, guru anak di sekolah, atau dengan orangtua dari teman-teman anak.

Kolaborasi dengan Ahli
Ada kalanya juga orangtua perlu mencari pertolongan kepada ahli guna mengatasi masalah perilaku anak. Misalnya, anak-anak dengan gangguan kesehatan mental sangat mungkin membutuhkan obat-obatan. Dalam hal ini, orangtua perlu mencari pertolongan kepada dokter spesialis kesehatan jiwa anak.

Sabtu, 25 Mei 2024

SAAT ANAK JATUH CINTA

SAAT ANAK JATUH CINTA

Menurut UU Perlindungan Anak sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa-komunikasi, sosial, emosional, moral-spiritual, dan psikoseksual. Ketika memasuki usia belasan tahun, anak memasuki suatu masa yang dikenal dengan pubertas. Di masa ini, anak mencapai kematangan reproduksi. Terjadi perubahan fisik, hormon, dan seksual yang mengarah pada kematangan reproduksi. Tubuh anak berkembang menjadi tubuh dewasa yang mampu bereproduksi. Anak juga sudah memiliki daya tarik seksual dan ketertarikan seksual kepada lawan jenis.

Dalam perkembangan psikososialnya, dimana anak mulai memiliki komunitas atau lingkaran pertemanan dengan sebayanya, ada kemungkinan anak mengalami ketertarikan spesial kepada lawan jenisnya. Pengalaman ini dikenal dengan nama jatuh cinta. Peristiwa jatuh cinta yang dialami oleh anak adalah hal yang wajar. Itulah sebabnya, ketika diketahui anak jatuh cinta, orang tua tidak perlu panik. Sebaliknya, peristiwa ini layak dirayakan karena itu menunjukkan bahwa anak sudah memasuki fase kehidupan selanjutnya, yakni masa remaja.

Tetap Tenang
Ada orang tua yang sulit menerima kenyataan bahwa anaknya yang bayi itu kini sudah bukan bayi lagi, tetapi sudah menjadi seorang remaja. Hal ini dapat dilihat dari cara orang tua memperlakukan anaknya. Akibatnya, orang tua kaget ketika mengetahui anaknya jatuh cinta. Bahkan, ada yang sedemikian panik, seolah-olah ada yang salah dengan “jatuh cinta”. Ketika diketahui anak jatuh cinta, orang tua harus tenang. Kalaupun terkejut, harus segera menenangkan diri. Kepanikan dapat membuat orang tua menjadi reaktif. Akibatnya, anak menjadi merasa tidak nyaman, menghindar dari orang tua, dan menutup akses informasi untuk orang tua. Ini tidak baik, karena orang tua tidak akan mendapatkan informasi tentang anak. Dengan demikian, orang tua tidak dapat mendampingi dan membimbing anak dalam masa jatuh cinta tersebut, serta tidak dapat memberi pertolongan kepada anak ketika anak mengalami masalah terkait jatuh cinta dan hubungan romantis.

Bangun Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka adalah kunci dari terbentuknya relasi yang baik antara orang tua dan anak. Itulah sebabnya, komunikasi terbuka dengan anak perlu dibangun sejak awal. Dengan komunikasi terbuka, anak akan merasa nyaman bercerita kepada orang tua. Kenyamanan bercerita ini membuat orang tua mendapatkan informasi yang perlu diketahui terkait perasaan anak, hubungan anak dengan orang yang disukainya, dan lain sebagainya. Adanya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak memungkinkan orang tua untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada anak. Selain itu, komunikasi terbuka dan rasa nyaman anak terhadap orang tua akan membuat anak menjadikan orang tua sebagai rujukan pertama dan utama. Anak akan meminta nasihat orang tua dan menjadikan nasihat tersebut sebagai pegangan hidup.

Hargai Perasaan Anak
Ada kecenderungan orang tua merasa lucu ketika mengetahui anaknya jatuh cinta. Mereka merasa aneh dengan peristiwa jatuh cinta anak karena merasa anaknya adalah anak kecil, bahkan bayinya yang masih imut-imut. “Masak sih bayi jatuh cinta?” Kira-kira demikian yang ada di benak mereka. Ada juga orang tua yang berpikir anak-anak belum boleh pacaran, jadi tidak boleh jatuh cinta. Karena anak masih sekolah, tugas anak adalah belajar. Berpacaran dan jatuh cinta dianggap sebagai sesuatu yang akan mengganggu studi anak. Jika studi anak terganggu, masa depan anak akan rusak. Jadi, anak dilarang keras berpacaran dan jatuh cinta. Kondisi ini berpotensi membuat anak merasa perasaannya tidak dihargai. Akibatnya, ia menarik diri, dan menutup akses untuk orang tua. Bisa jadi, anak menjalin hubungan romantis dengan seseorang tanpa diketahui oleh orang tua. Selain itu, sikap orang tua yang tampak seperti tidak menghargai perasaan anak dapat menimbulkan emosi negatif pada anak, seperti kesedihan yang mendalam, amarah, kecewa, atau kebencian.

Bantu Anak untuk Mengidentifikasi dan Memahami Perasaannya
Ketika diketahui anak sedang jatuh cinta, orang tua harus bersikap bijaksana. Rangkul anak, ciptakan lingkungan yang kondusif, dan bangun komunikasi terbuka dengan anak. Anak perlu dibantu untuk mengidentifikasi dan memahami perasaannya. Bisa jadi, ternyata apa yang dirasakan dan dipahami anak tentang cinta dan jatuh cinta tidak seperti yang orang tua pahami. Itulah sebabnya orang tua perlu memahami apa yang sedang dialami anak. Yakinkan anak bahwa ketertarikan atau rasa suka anak pada lawan jenis adalah sesuatu yang dapat dipahami! Bantu anak untuk berpikir dengan baik dan kritis terhadap perasaannya sendiri! Misalnya: apa yang anak pahami tentang cinta dan jatuh cinta, mengapa anak tertarik, suka, atau jatuh cinta pada seseorang. Hal ini dapat membantu anak untuk lebih stabil ketika jatuh cinta karena logikanya bekerja dengan baik. Anak tetap rasional ketika jatuh cinta, anak tetap logis ketika hatinya “berbunga-bunga”. Ini dapat menghindarkan anak dari perasaan melankolis yang berlebihan atau perilaku berisiko, seperti mengurung diri, tidak mau makan, melakukan seks bebas, dan lain-lain.

Tanamkan Nilai-nilai Keluarga dan Norma Masyarakat pada Anak
Penting menanamkan nilai-nilai keluarga kepada anak, misalnya nilai-nilai budaya dan ajaran agama yang dianut oleh anak dan keluarga tentang hubungan romantis. Karena anak hidup dalam masyarakat, maka pada anak perlu ditanamkan norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya etika, sopan santun, dan standar kepantasan. Jika anak menginternalisasi nilai-nilai tersebut, maka nilai-nilai tersebut akan menjadi panduan bagi anak dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam relasi sosial dan hubungan romantis.

Berikan Pendidikan Seksual
Sebelum memasuki masa remaja, anak perlu diberikan pendidikan seksual. Pendidikan ini dapat membantu anak untuk memahami tubuhnya, pikirannya, keinginannya, dan perasaannya. Karena pendidikan seksual mencakup aspek kesehatan, budaya, psikologi, hukum positif dan agama, maka pemahamannya akan hal-hal tersebut menjadi lengkap. Dengan demikian, walaupun sedang jatuh cinta, anak akan berhati-hati dalam berperilaku, dan berpikir dengan baik sebelum bertindak. Ia akan memikirkan resiko, baik-buruk, untung-rugi, benar-tidak, pantas-tidak, dan berguna-tidaknya suatu perilaku.

Dorong Anak untuk Menjalin Persahabatan yang Sehat
Bagi anak-anak yang sudah memasuki usia remaja, pendapat teman-teman sebaya adalah hal yang penting. Mereka cenderung untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh kelompok teman sebayanya. Salah satu tujuannya adalah agar mereka diterima oleh kelompok. Akan tetapi, tidak semua yang merupakan aturan kelompok adalah benar dan berguna bagi anak. Oleh karena itu, anak harus dibantu mamahami hal ini. Anak juga perlu diberi pemahaman tentang persahabatan yang sehat. Orang tua perlu mendorong anak untuk menjalin persahabatan yang sehat. Baik dan ramah kepada semua orang adalah baik, tetapi perlu selektif dalam pergaulan. Demikian juga ketika anak jatuh cinta. Anak harus dibantu untuk memahami apa yang dimaksud dengan jatuh cinta, hubungan romantis, dan tujuan dari menjalin hubungan romantis. Dengan demikian, anak akan mampu menjalin hubungan yang sehat dengan kelompok teman-teman sebayanya dan orang yang ia sukai secara spesial.

Bantu Anak untuk Menetapkan Tujuan Hidupnya
Meskipun masih berusia anak (di bawah 18 tahun), anak perlu dibantu untuk menetapkan tujuan hidupnya. Ini adalah langkah penting guna menuntun anak dalam menapaki jalan-jalan di kehidupannya. Misalnya: apa cita-citanya, kelak dewasa ia ingin menjadi orang yang seperti apa, mengerjakan apa, serta apa yang perlu dilakukan dan perlu dihindari guna meraih itu. Ini dapat membantu anak menjalani kehidupan dengan tujuan yang jelas. Dengan demikian, anak juga dapat bersikap lebih bijaksana dalam bergaul, termasuk dalam hubungan romantis.

Komunikasikan kepada Anak Ekspektasi Orang Tua terhadapnya
Pada umumnya, orang tua memiliki harapan terhadap anak. Orang tua perlu mengkomunikasi hal tersebut kepada anak agar anak tahu apa harapan orang tua terhadap dirinya. Harapan orang tua yang dikomunikasikan kepada anak dapat berfungsi menjadi panduan, penyemangat, sekaligus alarm peringatan dalam perjalanan anak. Misalnya: orang tua berharap anak dapat menyelesaikan studi sampai kepada jenjang universitas sehingga dapat meraih cita-cita yang anak inginkan. Untuk itu, anak harus rajin belajar. Jadi, walaupun anak jatuh cinta, ia akan dapat bersikap bijaksana.

Jumat, 24 Mei 2024

JAUH PANGGANG DARI API PENANGANGAN ABH DI NEGRI INI

JAUH PANGGANG DARI API PENANGANGAN ABH DI NEGRI INI

Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) Pasal 1 ayat 3 Menyebutkan Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan penanganan anak dengan usia dibawah 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana?

Pertanyaan ini tidak serta merta muncul namun diawali oleh kegelisahan atas munculnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak berusia di bawah 12 tahun. Mengawali tahun 2023 saja, sudah muncul beberapa kasus yang cukup menyita perhatian. Kita ambil contoh kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jawa Timur dimana Anak yang Berkonflik dengan Hukum (AKH) masih berusia sekitar 8 tahun telah melakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai korban yang berusia 6 tahun. Tentunya dalam penanganan AKH ini selain dari UU SPPA, Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum 12 (dua belas) tahun.

Pada Pasal 67 PP No. 65 tahun 2015 menyebutkan dalam hal anak yang belum berumur 12 (Dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk menyerahkan anak kembali kepada orang tua/ wali: atau mengikut sertakan dalam program pendidikan, pelatihan dan bimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Dalam UU dan peraturan lainnya yang berlaku di Indonesia, tindak pidana yang dilakukan oleh AKH belum berumur 12 tahun. Belum dapat dimintai pertanggung jawaban dan akan mempertimbangkan untuk menyerahkan anak kembali kepada orang tua/wali. Berdasarkan rekomendasi yang harus dibuktikan dari penelitian kemasyarakatan oleh pembimbing kemasyaratan. Namun jika kekerasan yang dilakukan oleh anak dicurigai, dikarenakan kelalaian orang tua maka pembimbing kemasyarakatan harus lebih ekstra untuk melakukan pengawasan dan evaluasi kepada AKH dan keluarga.

Namun jika hal ini terjadi, maka muncul dilema baru. Seperti kita ketahui bahwa keberadaan LPKS hingga saat ini masih menjadi tanda tanya, yang akhirnya tidak ada opsi sehingga anak tetap harus dikembalikan kepada orang tua meskipun orang tua dianggap belum layak dalam bimbingan anak. Hal ini sebenarnya sangat berbahaya, sangat besar kemungkinan anak akan melakukan kesalahan (tindak pidana) yang sama.

Hal ini sejalan dengan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh PKPA. Beberapa kasus seperti ini terjadi dan AKH kembali melakukan kesalahan saat masih dibawah bimbingan orang tua. Ini menjadi masalah yang mungkin terlihat sepele, namun berdampak serius terutama bagi anak.

Jika kita runut kembali, UU SPPA telah lahir sejak tahun 2012 dan diberlakukan 2 tahun kemudian sampai sekarang. Artinya sudah 10 tahun UU SPPA diterapkan, tetapi mandat dari UU SPPA belum sepenuhnya dipenuhi. Hal ini Merujuk pada fasilitas yang sebagaimana diatur dalam UU SPPA belum terpenuhi secara maksimal. Salah satu contohnya adalah keberadaan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) yang masih antah berantah.

Jika sudah begini, siapa yang akan bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas LPKS ini. Instansi mana yang seharusnya menyediakan LPKS? Jika terus begini, maka yang akan menjadi korban tentu saja adalah anak. Seperti yang sebelumnya dipaparkan, pembimbingan anak akan dikembalikan kepada orang tua, yang dalam hal ini belum tentu mampu atau bahkan dalam beberapa kasus, menjadi salah satu faktor pendukung anak melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum. Maka aturan terkait penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, yang tampak sudah sangat baik tersusun di atas kertas, menjadi mentah kembali dalam pengimplementasiannya.

Kita sama – sama tahu bahwa Negara kita adalah Negara Hukum dan memiliki panduan serta menjunjung kode etik termasuk dalam penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH). Namun jika kita salami lebih jauh, aturan ini masih kurang dikawal dengan baik sehingga penerapannya masih jauh dari api. Hal ini memerlukan komitmen bersama dari pemerintah sehingga hak anak termasuk ABH dapat terpenuhi.

Kamis, 23 Mei 2024

Beda Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum?

Beda Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum?

"Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana," tutur Pasal 1 ayat (2).

"Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana," ujar Pasal 1 ayat (4).

"Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan atau dialaminya sendiri," ucap Pasal 1 ayat (5).

Sedangkan anak yang berkonflik dengan hukum memiliki definisi yang lebih jelas, karena hanya terdiri dari 1 jenis saja. Sebutan itu hanya ditujukan bagi anak yang diduga melakukan tindak pidana alias tersangka.

"Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana," kata Pasal 1 ayat (3).

Dalam hal menangani masalah anak yang terlibat dalam masalah hukum, aparat mengacu pada Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan melaksanakannya berdasarkan asas:

a. Pelindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. Penghindaran pembalasan.

Sementara itu, setiap anak yang berada dalam proses peradilan pidana berhak:
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. Tidak dipublikasikan identitasnya;
j. Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. Memperoleh advokasi sosial;
l. Memperoleh kehidupan pribadi;
m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. Memperoleh pendidikan;
o. Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.*

Rabu, 22 Mei 2024

Psikologi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Psikologi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Problem dalam perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) baik secara kognitif, moral, sosial, maupun kepribadian. Berikutnya akan dibahas permasalahan anak dan orang tua, pengaruh lingkungan sekolah, teman sebaya, sosial dan budaya terhadap tumbuh kembang dan perlindungan Anak. Sasaran anak yang rentan terhadap tindak kriminalitas yang meliputi usia dan jenis kelamin, kekerasan terhadap anak dan kriminalitas, anak dan penyalahgunaan narkoba serta anak dengan geng motor. Selanjutnya juga dibahas analisis dari faktor internal dan eksternal, kesimpulan serta rekomendasi.

Problem dalam Perkembangan Anak
Dalam perspektif hukum, sesuai dengan Undang – Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Pada rentang umur ini dalam perspektif psikologis, yaitu anak yang berumur 10 sampai dengan 22 tahun berada dalam tahap perkembangan remaja. Santrock (2003) membagi tugas perkembangan remaja menjadi remaja awal (10-13 tahun) dan remaja akhir (18-22 tahun), serta masa pubertas (14 sd 17 tahun). Sedangkan untuk kepentingan telaah ini, maka istilah yang digunakan adalah Anak/Remaja, atau akan digunakan kedua istilah itu secara bergantian.

Tahap perkembangan remaja ini memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan agar Anak dapat masuk pada tahap dewasa. Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup aspek kognitif, sosial/emosional dan moral. Sebagian besar remaja berhasil melewati masa transisi dari masa anak/remaja ke masa dewasa (Offer dan Church, dalam Sandrock, 2003), namun banyak juga remaja yang tidak memperoleh cukup kesempatan dan dukungan untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (Takanishi, dalam sandrock, 2003). Keberhasilan dan kegagalan remaja dalam melewati masa transisi ini tidak lepas dari masalah-masalah dalam perkembangan yang dihadapi oleh anak/remaja. Dalam bagian ini akan dijelaskan problem dalam perkembangan anak secara kognitif, moral, sosial, dan kepribadian.

Problem dalam Perkembangan Kognitif Anak
Menurut perkembangan kognitif Piaget (dalam Santrock, 2003), Anak/remaja mencapai tahap pemikiran operasional formal yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang berlangsung pada usia 11-15 tahun. Pada tahap pemikiran operasional formal, seorang Anak/remaja mampu berfikir lebih abstrak, idealis dan lebih logis daripada pemikiran seorang anak-anak. Selain abstrak, Anak/remaja mulai berfikir ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dengan cara membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar idealnya. Selain itu, remaja juga mulai berpikir lebih logis (Kuhn dalam Santrock, 2003) seperti ilmuwan, yang menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis (trial and error). Sehingga pada masa ini, seorang Anak/remaja suka mencoba-coba sesuatu atau situasi yang baru.

Seiring dengan perkembangan kognitifnya, maka kemampuan Anak/Remaja dalam pengambilan keputusan semakin meningkat, misalnya kemampuan mengambil keputusan tentang masa depan, memilih teman, apakah harus sekolah atau bekerja dan seterusnya. Transisi dalam pengambilan keputusan muncul sekitar usia 11-12 tahun dan pada 15-16 tahun. Salah satu strategi meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan Anak/Remaja tentang pilihan dunia nyata dengan melibatkan remaja untuk menyelesaikan permasalahan di sekitarnya seperti masalah seks, obat-obatan dan kebut-kebutan pada Anak/Remaja. Kemampuan mengambil keputusan tidak menjamin kemampuan itu akan diterapkan karena dalam dunia nyata pengalaman merupakan hal yang penting.

Bila Anak/Remaja kurang mendapatkan pengalaman dalam pengambilan keputusan, maka kemampuannya dalam mengambil keputusan tidak akan berkembang. Untuk itu, Anak/Remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis. Pada anak-anak yang delinkuen/nakal, kemampuan dalam pengambilan keputusan ini tergolong rendah, karena kurangnya pengalaman yang didapatkan.

Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Keating (dalam Sandrock, 2003), pengambilan keputusan Anak/Remaja yang keliru bukan karena ketidakmampuan Anak/Remaja dalam pengambilan keputusan melainkan karena kegagalan masyarakat dalam menyediakan pilihan-pilihan. Misalnya keputusan Anak/Remaja untuk ikut geng motor karena tidak adanya pilihan lain yang menarik bagi remaja untuk bergabung. Sehingga bila kita tidak suka dengan pilihan yang diambil oleh Anak/Remaja, maka masyarakat perlu menyediakan pilihan-pilihan yang lebih baik bagi mereka. Misalnya mendorong remaja untuk ikut aktif dalam setiap kegiatan di lingkungan rumah, sekolah, organisasi soasial remaja yang lain atau berbagai event yang diselenggarakan di Mall dan pusat perbelanjaan baik kesenian atau olah raga

Masalah dalam perkembangan kognitif Anak/Remaja lainnya adalah munculnya egosentrisme remaja, yang menggambarkan meningkatnya kesadaran diri dan keyakinan Anak/Remaja bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar sebesar perhatian mereka sendiri terhadap perasaan dan keunikan pribadi mereka (Tracy, Margaret dan Adam dalam Sandrock, 2003). Egosentrisme remaja ini menyebabkan Anak/Remaja berani mengambil resiko tinggi, karena mereka memandang diri mereka tak terkalahkan, kebal fisik dan kebal terhadap sanksi hukum (Sandrock, 2003). Hal inilah yang membuat para Anak/Remaja ini sering melanggar hukum, seperti tidak pakai helm saat bermotor, melanggar lampu merah dan lainnya.

Problem dalam Perkembangan Moral Anak
Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain (Sandrock, 2003), yang meliputi bagaimana Anak/Remaja mempertimbangkan peraturan untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan etika; bagaimana Anak/remaja bertingkah laku dalam situasi sebenarnya dan bagaimana perasaan Anak/remaja tenang masalah moral. Penalaran moral Anak/Remaja menjadi salah satu kebutuhan penting sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan pribadi yang harmonis dan menghindari konflik peran yang terjadi dalam masa transisi (Kohlberg, dalam Desmita, 2013). Orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu.

Pada masa perkembangan moral, Anak/Remaja memiliki dorongan untuk melakukan perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Anak/Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya saja tetapi juga psikologis seperti rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain mengenai tindakannya. Dalam tahapan perkembangan moral Kohlberg (dalam Desmita, 2013), tingkat penalaran moral remaja pada tahap konvensional dimana suatu perbuatan dinilai baik oleh remaja apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok teman sebayanya.

Teori belajar sosial (Bandura dalam Sandrock, 2003) menjelaskan mengapa dan bagaimana proses penguatan, hukuman dan imitasi mempengaruhi perilaku moral Anak/Remaja. Ketika Anak/Remaja melakukan tindakan yang sesuai dengan hukum mereka mendapat penguatan, maka mereka akan cenderung untuk mengulang perilaku tersebut, dan sebaliknya ketika Anak/Remaja berperilaku yang melanggar hukum kemudian mendapat sanksi/hukuman maka mereka cenderung tidak mengulanginya dan tingkah laku itu dapat dihilangkan (Sandrock, 2003).

Oleh karena itu konsistensi dalam menegakkan aturan/hukum, nilai dan norma yang diterima oleh masyarakat harus dilakukan agar Anak/Remaja taat hukum. Masalahnya, dalam kehidupan riil di Indonesia, seringkali terjadi pembiaran terhadap perilaku Anak/Remaja yang melanggar hukum dan tidak ada penguatan terhadap perilaku yang taat hukum/aturan, nilai dan norma masyarakat. Akibatnya Anak/Remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang perilaku yang sesuai/tidak sesuai dengan peraturan, nilai dan norma masyarakat. Anak/Remaja terus melakukan perilaku melanggar norma dan nilai masyarakat karena perilaku yang dilakukan tidak mendapat konsekuensi,sehingga hal itu dianggap sebagai perilaku yang benar dan diterima secara sosial.

Dalam teori ini, juga penting adanya model moral untuk membentuk perilaku Anak/Remaja agar sesuai denga nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Ketika Anak/Remaja dihadapkan pada model yang bertingkah laku secara moral, maka dia cenderung meniru tingkah laku model tersebut (Sandrock, 2003). Namun kondisi saat ini sulit untuk mendapatkan model moral yang berperilaku sesuai dengan nilai moral, sehingga Anak/Remaja tidak memiliki acuan yang tepat agar dapat berperilaku yang dapat diterima secara moral dan norma sosial.

Problem dalam Perkembangan Sosial Anak
Tugas perkembangan sosial remaja dapat ditunjukkan melalui kemampuannya untuk memahami orang lain (Yusuf, 2012). Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik dari sifat pribadi maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja menjalin hubungan sosial yang akrab dengan teman sebaya. Santrock (dalam Desmita, 2013) melakukan investigasi dan menemukan bahwa anak yang berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun.

Masalah dalam perkembangan sosial Anak/Remaja adalah adanya pengetahuan tentang strategi yang tepat atau tidak tepat dalam mencari teman yang berhubungan dengan penerimaan dari teman sebaya dan perilaku prososial (Wentzel dan Erdley dalam Sandrock, 2003). Strategi dalam pertemanan yang tidak tepat, akan menyebabkan Anak/Remaja mendapatkan penolakan dari teman sebaya dan sebaliknya. Penolakan dari teman sebaya, dalam keadaan yang ekstrim dapat menyebabkan remaja itu melakukan bunuh diri.

Hal ini terjadi karena dalam perkembangan sosial remaja, Anak/Remaja melakukan dua macam gerak yaitu gerakan untuk memisahkan diri dari orang tua di satu sisi dan bergerak menuju kearah teman sebaya di sisi lain, sehingga ketika Anak sudah bergerak memisahkan diri dari orang tua tapi mengalami penolakan dari teman sebayanya maka Anak/Remaja akan mengalami alienasi yang selanjutnya bisa stress, depresi dan pada ujungnya memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Masalah lain yang dihadapi Anak/Remaja ketiga bergerak untuk mandiri dari rasa ketergantungan terhadap orang tuanya adalah adanya tuntutan dari orang tua untuk terus mengikuti kemauannya (Sarwono, 2013). Penelitian Kagitcibasi (dalam Sarwono, 2013), menunjukkan bahwa lebih dari 80% ibu-ibu Jawa dan Sunda mengharapkan anak mereka menuruti keinginan orang tuanya, sehingga Anak/Remaja menghadapi konflik di dalam dirinya, yaitu antara keinginannya untuk mandiri dan kehendak orang tua, karena pada masa ini mereka berada pada tahapan usia sekolah dan masih tergantung secara ekonomi dari orang tuanya.

Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya dalam ketertarikan, sikap, nilai dan kepribadiannya. Pada masa ini berkembang sikap konformitas yang merupakan kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan teman sebayanya (Desmita, 2013). Sesungguhnya konformitas kelompok juga bersifat positif karena dapat membantu Anak/Remaja dalam menemukan identitas diriinya.

Sejalan dengan yang dikemukakan Erikson (Desmita, 2013) yang melihat trend perkembangan dari perspektif normative-life-crisis, dimana teman memberikan umpan balik dan informasi yang konstruktif tentang definisi diri dan penerimaan komitmen. Namun, konformitas dapat juga memberikan efek negative bila nilai dan norma kelompok teman sebaya bertentangan dengan nilai dan norma orang tua atau masyarakat.

Dalam usaha untuk melepaskan diri dari pengaruh orang dewasa, Anak/Remaja membentuk kelompok. Kecenderungan kohesi meningkat seiring dengan meningkatnya frekuensi interaksi anggota Anak/Remaja dengan kelompoknya. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat, berkembanglah iklim dan norma kelompok yang sangat ditentukan oleh pemimpin dalam kelompok. Anak/Remaja akan lebih mementingkan norma dan moral kelompok dibandingkan norma dan moral yang dia terima dari orang tuanya sehingga dia sulit untuk dapat mengembangkan norma dan moralnya sendiri.

Problem dalam Perkembangan Kepribadian Anak
Sedangkan perkembangan psikososial remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) bahwa seorang remaja berada pada tahap perkembangan identitas versus kekacauan identitas. Tahap perkembangan ini individu dihadapkan pada kemampuan mempersiapkan diri untuk masa depan, mampu menjawab pertanyaan siapa mereka dan apa tujuan hidupnya. Bila remaja mampu mengekplorasi tahap ini dengan cara yang sehat dan positif maka akan terbentuk identitas diri yang positif. Remaja akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya seperti kesukaan atau ketidaksukaan, aspirasi dan tujuan masa depan.

Identitas ang dipaksakan dan remaja yang kurang mengeksplorasi peran yang berbeda maka akan terjadi kekacauan identitas yang berdampak pada pengembangan perilaku menyimpang, tindak kriminal, atau menutup diri dari masyarakat. Perkembangan identitas pada masa remaja menjadi penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartmann dalam Desmita, 2013).

Selanjutnya Desmita (2013) menyebutkan empat sub tahap perkembangan identitas seperti; a) diferensiasi yaitu remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orang tuanya; b) praktis yaitu remaja percaya bahwa ia mengetahui segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah; c) rapprochement yaitu kesedihan dan kekhawatiran yang dialami remaja mendorong mereka untuk menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya tetapi dengan syarat; dan d) konsolidasi yaitu remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal yang menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan orang lain.

Permasalahan Anak dengan Orang Tua
Rumah merupakan lingkungan primer anak, sejak lahir sampai dengan datangnya waktu untuk meninggalkan rumah karena pernikahan (Sarwono, 2013). Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas maka dia mengenal lebih dahulu lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap anak dan lingkungan keluarga juga menjadi awal dari faktor resiko dalam perilaku kenakalan dan tindakan kriminal oleh anak. Hal itu karena lingkungan keluarga lah yang menjadi awal terbentuknya nilai yang diterima oleh anak melalui pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja.

Remaja pelaku kejahatan dan kekerasan di Amerika Serikat adalah remaja yang berasal dari lingkungan rumah atau keluarga yang tidak harmonis dan anak-anak dari latar belakang sosio-eknomi rendah. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya, namun dalam konteks anak-anak ABH di LPKA Blitar, hasil wawancara menunjukkan beberapa ABH ini salah satu orang tuanya tidak ada, mereka hidup dengan orang tua tunggal baik karena perceraian, meninggal atau karena bekerja sebagai TKW atau hidup bersama kakek/nenek maupun saudara lainnya.

Walsh (2003), menjelaskan munculnya beberapa masalah pada keluarga dengan orang tunggal baik wanita maupun pria yakni orang tua tunggal merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksualnya, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner spesial, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit. Masalah yang dihadapi oleh orang tua tunggal yang disebutkan di atas mempengaruhi pola asuh dan kualitas komunikasi orang tua dengan anak, sehingga dapat menjadi penyebab anak merasa tidak bahagia/tidak nyaman di rumah dan mendorong mereka untuk mencarinya di luar rumah.

Selain kondisi di atas, pola asuh yaitu bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anaknya di rumah, juga sangat berperan dalam mendidik anak. Pola asuh dibagi menjadi pola asuh otoriter, permisif dan univolved. Pola asuh otoriter dicirikan dengan orang tua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak tanpa kehangatan dari orang tua. Pendidikan disiplin dengan penerapan yang keras dengan memberikan hukuman fisik dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji dalam A. Budi, 2009).

Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan amarahnya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya anak dilarang untuk bermain di luar, tetapi kedua orang tua tidak memberi perhatian karena kesibukan mereka.

Pola asuh permisif dicirikan dengan orang tua yang terlalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol, anak dibolehkan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Hurlock (1998) menjelaskan bahwa pola asuh permisif dicirikan dengan tidak ada bimbingan untuk anak dan orang tua menyetujui semua tingkah laku anak termasuk keinginan-keinginan yang sifatnya segera dan tidak menggunakan hukuman. Pola asuh ini juga ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri dan orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

Pola asuh permisif membuat hubungan anak-anak dengan orang tua penuh dengan kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menuruti kata hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan akan bertingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga. Kurangnya kendali orang tua dan pemberian hukuman pada anak dapat mendorong seorang anak untuk terlibat dan melanjutkan perilaku tertentu, seperti kriminalitas.

Pola asuh uninvolved dicirikan dengan menjelaskan bahwa pada pola asuh uninvolved orangtua yang tidak terlibat dalam aktivitas anak, tidak ada tuntutan dan kontrol serta tidak tertarik pada pendapat, pandangan anak dan juga kegiatan anak (Baumrind dalam Santrock, 2003). Chormelianti (2015) menemukan bahwa penelantaran orang tua terhadap perkembangan anak menyebabkan terbentuknya karakter yang berpotensi besar melakukan tindak pidana karena anak tidak mendapatkan kasih sayang, pengakuan, figure orang tua dan tidak terpenuhinya kebutuhan anak sebagaimana mestinya. Pola asuh ini menjadikan anak kekurangan ikatan dengan orang tua, dan secara kognitif, emosi, keterampilan sosial dan perilaku kurang berkembang, kontrol diri lemah, self-esteem rendah dan merasa terasing/diabaikan dalam keluarga.

REFERENSI:
Desmita. (2013). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Hurlock, E. (1998). Psikologi Perkembangan: pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

LN Yusuf. S. 2012. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, J.W. (2003). Life- Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jilid 2. Alih Bahasa: Damanik, J., dan Chusairi, A. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S.W. (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.

Wals, F. (2003). Family resilience. A Framework for Clinical Practice. Family Process. Vol. 42, Issue 1, pages 1–18, March 2003.