Selasa, 07 Mei 2024

Banyak Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual Di Jombang

Belakangan ini, kasus kekerasaan seksual marak yang melibatkan anak sebagai pelakunya di Jombang ada anak yang turut serta melakukan kekerasaan. Alkohol dan video porno dianggap sebagai pemicu utama kekerasaan tersebut. Ini merupakan persoalan kita bersama karena memang sudah di luar batas kewajaran. Alternatif hukuman kebiri, penjara seumur hidup, dan hukuman mati pun kembali mengemuka di masyarakat.

Namun apakan dengan hukuman di atas persoalan selesai dan masyarakat kembali ke kehidupan normal tanpa perlu resah? Ketika anak divonis hukuman penjara dalam waktu yang lama, maka ada persoalan besar yang patut turut diperhatikan. Mungkin tidak banyak yang menyadari dan mengerti. Apakah stigma anak sebagai pelaku perkosaan dan pembunuhan akan hilang setelah dia divonis penjara? Apakah masyarakat bisa menerima mereka setelah bebas kelak? Dan masih banyak pertanyaan yang menghantui anak-anak tersebut.

Tulisan berikut tidak akan mengupas akar persoalan kekerasaan seksual dapat terjadi. Penulis mengambil sudut pandang anak sebagai pelaku kekerasaan seksual yang diancam pidana penjara lebih dari 7 (tujuh) tahun. Menurut UU Sistem Peradilan Pidana Anak, upaya diversi tidak menjadi keutamaan dalam proses penyelesaian kasus tersebut meskipun umur mereka belum 18 tahun. Pidana penjara menjadi salah satu alternatif sanksi untuk mereka. Bentuk sanksi lainnya yakni pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan pidana dengan syarat seperti pelayanan masyarakat. Keputusan hakim wajib untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan agar tetap terpelihara. Penjatuhan pidana penjara pada anak diharapkan lebih bijak untuk menghindarkan perilaku yang lebih buruk pada anak. The Riyadh Guiedelines menyatakan bahwa pidana penjara hanya dapat dijatuhkan berdasarkan pertimbangan bahwa orang tua anak tersebut tidak dapat memberikan jaminan perlindungan, mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak.

Perjalanan kasus tidak hanya berhenti pada putusan pengadilan saja. Namun ada rangkaian berikutnya yakni penanganan di lembaga pemasyarakatan yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yanng terpadu. Beban di tahapan ini cenderung lebih berat karena mengambil waktu anak yang paling banyak daripada tahap sebelumnya. Ketika di kepolisan, anak akan ditahan maksimal selama 15 hari, di kejaksaan 10 hari, dan di pengadilan negeri 25 hari.

IDEALNYA PEMBINAAN ANAK
Menempatkan anak di Lapas/Rutan merupakan fase esensial dari proses rehabilitasi perilaku dan psikisnya. Dukungan keluarga lewat kunjungan berkala sangat besar pengaruhnya pada psikis anak. Kebutuhan kasih sayang dan perhatian kelurga tidak bisa disubstitusikan sepenuhnya oleh petugas/wali pemasyarakatan.

Tindak kriminal di masa lalu tidak akan dihapus seketika dengan mereka berada di dalam sel penjara. Anak membutuhkan bimbingan dan pendampingan secara intensif untuk dapat memperbaiki kesalahan dan merubah perilakunya. Pendekatan edukasi, spiritual, dan psikologi menjadi elemen kunci untuk mengembangkan potensi diri anak ke arah yang positif. Sehingga anak dapat tetap tumbuh dan berkembang tak beda dengan anak di luar tembok Lapas/Rutan/LPKA. Sejatinya hanya kemerdekaannya saja yang tercerabut, hak-hak dasar anak lainnya wajib tetap dipenuhi.

Penerimaan masyarakat pasca masa pidana selesai menjadi salah satu kekhawatiran anak. Kembali bersekolah atau bekerja adalah harapan anak. Namun tidak semudah anak umumnya untuk merealisasikannya. Tidak banyak sekolah formal mau menerima mereka sebagai siswa. Tak ada pilihan lain selain kejar paket. Berburu pekerjaan pun tak kalah sulit. Keterampilan minim dan modal usaha terbatas tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya.

Pemasyarakatan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen kompleks dan saling berkaitan. Keberhasilan implementasi sistem pemasyarakatan pada anak tidak hanya menjadi beban Lapas/Rutan setempat. Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan perbaikan sistem pemasyarakatan yang berperspektif anak. Melalui harmonisasi UU Pemasyarakatan dengan undang-undang lainnya terkait anak. Memperbaiki struktur kelembagaan dan kualitas petugas yang menguasai ilmu psikologi anak. Dukungan anggaran untuk pembinaan anak dialokasikan khusus. Serta membangun sinergi rehabilitasi anak dengan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga anak benar-benar dapat bermanfaat dan bebas stigma.

Lantas bagaimana tuntutan masyarakat yang sedemikian besar agar semua pelaku baik dewasa dan anak harus dihukum seberat-beratnya? Harapan penulis, khusus anak harus dibedakan pendekatan dan perlakuannya selama masa pemidanaan. Kebutuhan yang khas dan kepentingan terbaik mereka wajib menjadi pertimbangan negara. Jangan sampai menyelesaikan satu persoalan saat ini, namun akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Posting Komentar