Senin, 20 Mei 2024

Keadilan Restoratif untuk Anak ABH. Sebuah Jalan Merangkul dan Menghapus Stigma

Karena bukan kesalahan yang mendefinisikan jati diri mereka tapi pelajaran yang mereka dapat. Karena setiap anak, sebagaimana setiap manusia di dunia, berhak mendapatkan kesempatan kedua.”

Memberikan “kesempatan kedua” bagi anak yang berhadapan dengan hukum (selanjutnya disebut sebagai ABH), sejatinya, adalah hal yang tengah diperjuangkan oleh sistem hukum kita saat ini, khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Indonesia. Lalu, bagaimana hukum mampu mewujudkan “kesempatan kedua” bagi ABH? Jawabannya adalah dengan mengadopsi dan menerapkan konsep “Keadilan Restoratif” (Restorative Justice). Namun, sudahkah keadilan restoratif bekerja? Atau keadilan restoratif hanyalah sebatas retorika hukum bagi ABH? Tulisan ini akan mengulas bagaimana konsep keadilan restoratif didambakan sebagai sebuah jalan merangkul dan menghapus stigma pada ABH, namun belum sepenuhnya tercermin pada kasus-kasus nyata di lapangan.

Sekilas tentang ABH di Indonesia
Di masyarakat kita, kerap terjadi “salah kaprah” tentang ABH. Anggapan bahwa ABH adalah anak yang melakukan suatu tindak pidana, pada dasarnya, kurang tepat. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) mendefinisikan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (sebagai pelaku tindak pidana), anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.[1] Oleh karena itu, berbicara tentang “kesempatan kedua” bagi ABH bermaksud tidak hanya untuk anak-anak yang melakukan kesalahan, tetapi juga untuk mereka yang menjadi korban maupun saksi. Inilah mengapa, sistem peradilan pidana anak harus menjadi satu paket lengkap – di satu sisi mencegah pemidanaan pada pelaku anak dan di sisi lain tetap berperspektif korban anak dan melindungi saksi anak.

Data Kasus Pengaduan Anak Tahun 2016-2020 yang diterbitkan oleh KPAI menunjukkan bahwa tren kasus ABH sebagai pelaku maupun korban terkonsentrasi pada kasus kekerasan fisik (penganiayaan, pengeroyokan, perkelahian, dsb.) dan kekerasan seksual (pemerkosaan/pencabulan).[2] Jumlah kasus memang mengalami penurunan selama 4 tahun terakhir, di mana misalnya, jumlah ABH sebagai pelaku kekerasan fisik yang awalnya 108 anak pada tahun 2016 menurun menjadi 58 anak pada tahun 2020. Namun, kita tidak bisa melupakan fakta bahwa masih banyak kasus yang mungkin tidak terangkat ke permukaan. Merebaknya pandemi Covid-19 juga menambah deretan kasus ABH sebagai pelaku di beberapa daerah, khususnya Jawa Tengah yang mengalami peningkatan kasus hingga 10%.

Di tengah kebosanan berada di rumah, banyak anak terjerumus pada tindakan asusila dan pencurian karena bermain keluar dengan teman-temannya tanpa pengawasan dan bimbingan dari orang tua.

Terlepas dari fakta dan data mengenai kasus ABH sebagai pelaku, hal yang lebih patut disoroti adalah masih relatif tingginya tingkat pemidanaan (penahanan dan pemenjaraan) terhadap ABH. Studi PUSKAPA menunjukkan bahwa 90% ABH yang diproses di pengadilan diputus dengan hukuman penjara. Sekitar 40% ABH ditahan di dalam fasilitas dewasa, dan hanya sebagian kecil dari kasus (2%) yang tercatat menggunakan alternatif penahanan, seperti tahanan kota dan tahanan rumah. Penahanan dan pemenjaraan juga ditemukan masih dilakukan terhadap ABH di bawah usia 14 tahun. Lantas, di manakah keberadaan keadilan restoratif yang digaungkan oleh Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia?

Keadilan Restoratif: Berawal dari Pembalasan Menuju Pemulihan
Keadilan restoratif adalah pertemuan antara korban dan mereka yang melakukan kejahatan. Howard Zehr, seorang kriminolog asal Amerika – yang terkenal sebagai pionir konsep modern keadilan restoratif – memberikan beberapa ilustrasi sederhana yang sangat menarik tentang keadilan restoratif.

“Sebuah keluarga bertemu dengan para remaja yang merampok rumah mereka, mengungkapkan perasaan mereka dan merundingkan solusi ganti rugi"

Orang tua bertemu dengan pria yang membunuh putri mereka untuk menceritakan dampaknya dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka.

Seorang kepala sekolah dan keluarganya bertemu dengan anak laki-laki yang meledakkan bom pipa di halaman depan mereka, nyaris kehilangan kepala sekolah dan anaknya yang masih bayi. Kekhawatiran keluarga dan tetangga akan terulangnya kembali peristiwa itu dihapuskan dan anak laki-laki, untuk pertama kalinya, memahami besarnya dampak dari perbuatannya.”

Zehr juga berkata, “Jika kita melihat dari lensa keadilan restoratif, maka kejahatan adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasinya. Ini menciptakan kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi benar. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam pencarian solusi yang mendorong perbaikan, rekonsiliasi, dan kepastian.” Kata kuncinya adalah perbaikan, rekonsiliasi, dan kepastian atau secara garis besar, pemulihan. Baik itu memulihkan korban anak dan keluarganya dari dampak fisik, psikologis, maupun finansial, memulihkan pelaku anak dari tekanan sehingga ia menyadari dampak dari perbuatannya, dan memulihkan masyarakat dari kekhawatiran akan terulangnya kejahatan, semuanya adalah tujuan ideal yang ingin dicapai dari konsep keadilan restoratif.

Konsep keadilan restoratif sendiri mulai berkembang pada tahun 1970an sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan pada sistem hukum barat yang mengabaikan korban dan kepentingan mereka. Selama ini, sistem hukum selalu berfokus pada apa yang dilakukan oleh pelaku. Ada keresahan yang muncul di masyarakat di mana hukuman yang diberikan kepada pelaku seringkali tidak efektif, sehingga keadilan restoratif ditujukan untuk membantu pelaku menyadari bahaya yang telah mereka timbulkan dan mendorong mereka untuk memperbaikinya.

Melalui hadirnya konsep keadilan restoratif, sistem hukum pidana sudah mulai mengalami pergeseran cara pandang, dari yang awalnya fokus pada pembalasan perbuatan pelaku, menjadi pemulihan kembali korban kepada keadaan semula. Inilah yang diadopsi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia saat ini melalui UU SPPA. Keadilan Restoratif didefinisikan sebagai:

“penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

Pada prinsipnya, keadilan restoratif memiliki 3 elemen penting, yaitu: pertama, dalam penyelesaian perkara anak diupayakan agar pelaku dan keluarganya serta korban dan keluarganya dapat duduk bersama untuk membicarakan penyelesaian masalah termasuk pemulihan kepada korban kedua, memberi hukuman kepada pelaku yang bersifat mendidik sehingga memberi manfaat baik kepada pelaku maupun korban; dan ketiga, menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan mediasi korban dan pelaku (victim offender mediation) seperti yang diterapkan di Amerika Utara serta pendekatan yang menekankan pada ganti kerugian dan pemulihan (court based restitutive and reparative measure) seperti yang dipraktikan di Inggris. Lalu, pendekatan seperti apa yang lazim digunakan dalam sistem hukum kita untuk mengimplementasikan keadilan restoratif dalam perkara ABH?

Diversi: Mengubah Pemidanaan Menjadi Proses Dialog dan Mediasi
Sejalan dengan Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum, pendekatan yang digunakan dalam keadilan restoratif adalah proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Dalam UU SPPA, pendekatan ini dikenal dengan istilah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Apa saja yang perlu kita ketahui tentang diversi?

Apa tujuan diversi?
Sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA, diversi bertujuan untuk: (a) mencapai perdamaian antara korban anak dan pelaku anak; (b) menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; (c) menghindarkan pelaku anak dari perampasan kemerdekaan; (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan (e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada pelaku anak.

Kepada siapa diversi diterapkan?
Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun atau telah berumur 12 tahun dan telah kawin namun belum berumur 18 tahun, yang diduga melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Terlepas dari rentang usia di atas, kesepakatan diversi wajib diterapkan untuk pelaku anak yang berumur di bawah 14 tahun karena mereka tidak boleh dipidana, tetapi hanya boleh dikenakan tindakan, seperti: pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa/Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal atau pelatihan yang diadakan badan pemerintah/swasta, pencabutan SIM, dll.

Kapan diversi wajib diterapkan dalam perkara anak?
Baik di tingkat penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh jaksa penuntut umum dan pemeriksaan perkara di pengadilan oleh hakim, diversi wajib diupayakan apabila:

tindak pidana yang dilakukan oleh anak hanya terdiri dari 1 jenis tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara di bawah 7 tahun. Misalnya, seorang anak melakukan penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara 3 bulan, maka diversi wajib diterapkan dalam kasus ini. Namun, apabila seorang anak terbukti melakukan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) yang ancaman hukumannya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun, maka diversi tidak dapat diterapkan.
tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdiri dari beberapa jenis (gabungan) tindak pidana, yang jika dijumlahkan ancaman hukuman penjaranya menjadi 7 tahun atau lebih. Misalnya, seorang anak melakukan penganiayaan ringan dan pencurian, yang masing-masing ancaman hukumannya adalah pidana penjara 2 tahun dan 5 tahun. Dalam kasus ini, anak masih berhak atas penerapan diversi. Namun, ketika anak melakukan 1 jenis tindak pidana, yaitu pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 12 tahun, maka anak tidak dapat memperoleh penetapan diversi.

Bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Misalnya, seorang anak melakukan pencurian (Pasal 362 KUHP) sebanyak 3 kali, yang mana ia sudah pernah dihukum sebelumnya atas kasus pencurian pertama dan kedua, maka diversi tidak dapat diterapkan untuk kasus pencurian ketiga yang dilakukan si anak. Akan tetapi, apabila seorang anak baru 1 kali melakukan pencurian yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 5 tahun, maka diversi wajib diterapkan oleh penegak hukum.

Bagaimana proses diversi dilakukan?
Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan ABH dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional, dengan tahapan sebagai berikut:

Musyawarah diversi dibuka oleh fasilitator diversi dengan memperkenalkan para pihak yang hadir, menyampaikan maksud dan tujuan musyawarah diversi serta tata tertib musyawarah diversi.
Setelah itu, fasilitator diversi akan menjelaskan inti permasalahan termasuk tuntutan dari pihak korban kepada pihak pelaku. Di samping itu, pembimbing kemasyarakatan/pekerja sosial profesional yang hadir juga akan memberikan informasi tentang perilaku dan keadaan sosial pelaku anak serta memberikan solusi penyelesaian.
Selanjutnya, fasilitator diversi wajib memberikan kesempatan kepada: (a) pelaku anak untuk menjelaskan mengenai perbuatan yang dilakukannya; (b) orang tua pelaku anak untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anaknya dan bentuk penyelesaian yang diharapkan; dan (c) korban dan keluarga korban untuk memberi tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.

Apabila dipandang perlu, fasilitator diversi juga dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus) dengan masing-masing pihak.
Tahap terakhir, fasilitator diversi menuangkan hasil musyawarah diversi ke dalam Kesepakatan Diversi. Kemudian, Kesepakatan Diversi ini harus diserahkan kepada ketua pengadilan untuk diterbitkan Penetapan Kesepakatan Diversi. Dengan diterbitkannya Penetapan Kesepakatan Diversi, maka proses pemeriksaan perkara anak di pengadilan secara resmi dihentikan.
Apa isi Kesepakatan Diversi?

Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk, antara lain:
  • perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
  • penyerahan kembali ABH kepada orang tua/wali;
  • keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan; atau
  • pelayanan masyarakat.

Kesepakatan diversi yang paling sering terjadi adalah mengembalikan anak ke orang tua atau penggantian kerugian. Sayangnya, praktik pengembalian anak kepada orang tua sesuai dengan hukum tidak didukung dengan ketersediaan program rehabilitasi dan reintegrasi. Adapun penggantian kerugian juga diterapkan tanpa standar yang jelas dan berpotensi menambah beban anak dari latar belakang sosial-ekonomi lemah.

Bagaimana apabila diversi tidak tercapai atau tidak dapat diterapkan?
Hakim tetap harus memberikan putusan dengan pendekatan keadilan restoratif. Setelah pembacaan dakwaan dalam sidang pertama, hakim harus proaktif mendorong para pihak untuk mengupayakan perdamaian. Apabila kesepakatan perdamaian tercapai, maka hakim akan memasukkannya sebagai pertimbangan dalam putusannya. Namun jika tidak tercapai dan hakim menjatuhkan hukum penjara pada anak, maka hakim harus menentukan dengan jelas dan tegas lokasi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di mana anak akan ditempatkan dan berkoordinasi dengan petugas terkait dan P2TP2A.

Refleksi Penerapan Diversi pada Kasus Nyata
Kasus perkelahian SR dan DR. Seorang pelajar kelas 2 di SDN Lengkoweng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat berinisial SR (8 tahun) meninggal dunia setelah diduga berkelahi dengan temannya sendiri berinisial DR di halaman sekolah. Wali kelas 2, Ruhiyat, menemukan DR menangis sekembalinya ia dari halaman sekolah karena melihat SR pingsan setelah terlibat perkelahian dengannya. Dalam penanganan kasus ini, Polres Sukabumi membentuk tim yang terdiri dari Badan Pemasyarakatan (Bapas), Dinas Sosial (Dinsos), Komisi Perlindungan Anak (KPA), dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Berdasarkan hasil kesepakatan, tim memutuskan untuk menerapkan Pasal 21 UU SPPA di mana terdapat 2 pilihan, yaitu mengembalikan anak kepada orang tua atau mengikutsertakan anak dalam program pembinaan, pendidikan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS paling lama 6 bulan. Tim memilih opsi kedua, yaitu mengikutsertakan DR pada LPKS di wilayah Sukabumi. Keputusan ini telah disetujui oleh keluarga korban setelah melalui proses mediasi dan mencapai perdamaian.

Kasus penghinaan dan ujaran kebencian RJ. Salah satu kasus yang sempat viral di Indonesia adalah kasus penghinaan dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh seorang remaja berinisial RJ (16 tahun) kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. RJ terkenal karena videonya tersebar di media sosial dan isinya menunjukkan bahwa ia ingin menantang Presiden Indonesia hingga mengancam akan memenggal kepala sang Presiden Republik Indonesia, tak hanya itu, ia mengatakan bahwa Presiden Indonesia adalah “Pembantunya”. RJ melakukan ancaman dan juga olokan kepada Presiden Republik Indonesia semata – mata karena adanya dorongan, dan juga taruhan dari teman – teman RJ itu sendiri. Atas perbuatannya, RJ ditempatkan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani untuk mengikuti rehabilitasi. Dalam kasus RJ ini, proses diversi telah dilakukan dengan keputusan akhirnya adalah mengembalikan RJ kepada orangtuanya.

Kasus Tarung Bom-Boman Ala Gladiator. Kasus yang bermula dari adanya tradisi ‘bom-boman’ di lapangan basket SMA Negeri 7 Kota Bogor ini menewaskan 1 orang murid SMA Budi Mulya, Hilarius Christian Event Raharjo. Para pelajar dari 2 sekolah itu terlibat perkelahian yang disaksikan oleh orang banyak (layaknya pertarungan gladiator). 2 dari 3 pelaku anak divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bogor dan diwajibkan menjalankan pekerjaan sosial di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa Cibinong selama 3 bulan. Pertimbangan hakim adalah pelaku anak telah melakukan tindak pidana berat yang menyebabkan keresahan serta trauma berat bagi keluarga korban.

Kasus Narkotika MP.[17] MP (16 tahun) seorang anak yang ditahan di Mapolres Palopo, Sulawesi Selatan atas kasus narkotika. Karena terlibat kasus narkotika, MP ditahan di rutan orang dewasa yang seharusnya bukan tempat penahanan bagi anak. Dalam kasus ini, tidak dilakukan upaya diversi terhadap MP. Dalam catatan ICJR masalah serius adalah bahwa dalam kasus narkotika, UU SPPA tak berdaya walaupun sang pelaku masih berusia anak (di bawah 18 tahun). Ini karena salah satu syarat diversi bagi pelaku anak adalah anak tidak melakukan tindak pidana yang ancamannya penjaranya kurang dari 7 tahun. Masalahnya, dalam pelanggaran UU Narkotika, mayoritas ancaman pidana adalah di atas 7 tahun, kecuali pasal 127 (Pengguna Narkotika). Ini juga menjadi dilematis karena seringkali dalam penerapan pasal pidana dalam UU Narkotika, pengguna tidak hanya dituntut oleh pasal 127 (pasal pengguna untuk direhabilitasi) namun seringnya dengan pasal-pasal kepemilikan yakni Pasal 111/112 UU Narkotika.

Deretan 4 kasus di atas adalah refleksi dari penerapan diversi terhadap ABH. Pada kasus perkelahian SR dan DR serta kasus penghinaan dan ujaran kebencian RJ berhasil menerapkan diversi karena kasus ancaman hukumannya di bawah 7 tahun serta pelakunya berumur di bawah 18 tahun. Sedangkan pada kasus tarung bom-boman ala gladiator dan kasus narkotika MP, proses diversi ditiadakan dan menerapkan pemenjaraan pada anak dikarenakan kasus ancaman hukuman di atas 7 tahun, terlepas usia pelaku masih di bawah 18 tahun.

Menurut hemat penulis, penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak harus dilakukan secara konsisten. Dari keempat kasus di atas, pada dasarnya, penegak hukum sudah cukup memahami dan mampu menentukan kapan diversi wajib dilakukan dan kapan tidak. Namun, pemahaman ini harus selalu diimbangi dengan penerapan diversi yang konsisten dalam setiap kasus yang memang memenuhi syarat diversi. Di samping itu, khusus untuk kasus anak yang terlibat narkotika, penegak hukum perlu memberikan perhatian khusus mengenai masalah ketidakjelasan penerapan pasal pidana terhadap pengguna narkotika. Ketidakjelasan ini sangat merugikan posisi ABH di mana seharusnya ABH juga dipandang sebagai “korban” pengguna narkotika yang berhak atas rehabilitasi, bukan semata-mata melihat pada kepemilikan obat terlarangnya. Dengan sudut pandang tersebut, ABH seharusnya tidak dijerat dengan pasal berlapis dan berhak atas diversi karena ancaman hukuman dari penggunaan narkotika adalah di bawah 7 tahun.

Tanpa penerapan diversi yang maksimal, keadilan restoratif pun akan sulit diwujudkan. Pertama dan utama, sistem peradilan pidana harus memiliki kacamata bahwa tindakan ABH adalah konsekuensi masalah struktural yang terjadi di masyarakat, bukan semata-mata niat tunggal anak. Dengan begitu, konsep keadilan restoratif dan upaya diversi akan diterima dengan lebih mudah, diadopsi dan diterapkan secara optimal dalam sistem hukum kita. Keadilan restoratif bagi ABH dapat merangkul mereka untuk kembali ke masyarakat dan meredam stigma-stigma negatif yang menghambat jalan mereka menuju perbaikan hidup.

Posting Komentar