Rabu, 22 Mei 2024

Psikologi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Problem dalam perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) baik secara kognitif, moral, sosial, maupun kepribadian. Berikutnya akan dibahas permasalahan anak dan orang tua, pengaruh lingkungan sekolah, teman sebaya, sosial dan budaya terhadap tumbuh kembang dan perlindungan Anak. Sasaran anak yang rentan terhadap tindak kriminalitas yang meliputi usia dan jenis kelamin, kekerasan terhadap anak dan kriminalitas, anak dan penyalahgunaan narkoba serta anak dengan geng motor. Selanjutnya juga dibahas analisis dari faktor internal dan eksternal, kesimpulan serta rekomendasi.

Problem dalam Perkembangan Anak
Dalam perspektif hukum, sesuai dengan Undang – Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berusia 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Pada rentang umur ini dalam perspektif psikologis, yaitu anak yang berumur 10 sampai dengan 22 tahun berada dalam tahap perkembangan remaja. Santrock (2003) membagi tugas perkembangan remaja menjadi remaja awal (10-13 tahun) dan remaja akhir (18-22 tahun), serta masa pubertas (14 sd 17 tahun). Sedangkan untuk kepentingan telaah ini, maka istilah yang digunakan adalah Anak/Remaja, atau akan digunakan kedua istilah itu secara bergantian.

Tahap perkembangan remaja ini memiliki tugas perkembangan yang harus diselesaikan agar Anak dapat masuk pada tahap dewasa. Masa remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa, yang mencakup aspek kognitif, sosial/emosional dan moral. Sebagian besar remaja berhasil melewati masa transisi dari masa anak/remaja ke masa dewasa (Offer dan Church, dalam Sandrock, 2003), namun banyak juga remaja yang tidak memperoleh cukup kesempatan dan dukungan untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (Takanishi, dalam sandrock, 2003). Keberhasilan dan kegagalan remaja dalam melewati masa transisi ini tidak lepas dari masalah-masalah dalam perkembangan yang dihadapi oleh anak/remaja. Dalam bagian ini akan dijelaskan problem dalam perkembangan anak secara kognitif, moral, sosial, dan kepribadian.

Problem dalam Perkembangan Kognitif Anak
Menurut perkembangan kognitif Piaget (dalam Santrock, 2003), Anak/remaja mencapai tahap pemikiran operasional formal yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang berlangsung pada usia 11-15 tahun. Pada tahap pemikiran operasional formal, seorang Anak/remaja mampu berfikir lebih abstrak, idealis dan lebih logis daripada pemikiran seorang anak-anak. Selain abstrak, Anak/remaja mulai berfikir ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain dengan cara membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar idealnya. Selain itu, remaja juga mulai berpikir lebih logis (Kuhn dalam Santrock, 2003) seperti ilmuwan, yang menyusun rencana untuk menyelesaikan masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis (trial and error). Sehingga pada masa ini, seorang Anak/remaja suka mencoba-coba sesuatu atau situasi yang baru.

Seiring dengan perkembangan kognitifnya, maka kemampuan Anak/Remaja dalam pengambilan keputusan semakin meningkat, misalnya kemampuan mengambil keputusan tentang masa depan, memilih teman, apakah harus sekolah atau bekerja dan seterusnya. Transisi dalam pengambilan keputusan muncul sekitar usia 11-12 tahun dan pada 15-16 tahun. Salah satu strategi meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan Anak/Remaja tentang pilihan dunia nyata dengan melibatkan remaja untuk menyelesaikan permasalahan di sekitarnya seperti masalah seks, obat-obatan dan kebut-kebutan pada Anak/Remaja. Kemampuan mengambil keputusan tidak menjamin kemampuan itu akan diterapkan karena dalam dunia nyata pengalaman merupakan hal yang penting.

Bila Anak/Remaja kurang mendapatkan pengalaman dalam pengambilan keputusan, maka kemampuannya dalam mengambil keputusan tidak akan berkembang. Untuk itu, Anak/Remaja perlu memiliki lebih banyak peluang untuk mempraktekkan dan mendiskusikan pengambilan keputusan yang realistis. Pada anak-anak yang delinkuen/nakal, kemampuan dalam pengambilan keputusan ini tergolong rendah, karena kurangnya pengalaman yang didapatkan.

Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Keating (dalam Sandrock, 2003), pengambilan keputusan Anak/Remaja yang keliru bukan karena ketidakmampuan Anak/Remaja dalam pengambilan keputusan melainkan karena kegagalan masyarakat dalam menyediakan pilihan-pilihan. Misalnya keputusan Anak/Remaja untuk ikut geng motor karena tidak adanya pilihan lain yang menarik bagi remaja untuk bergabung. Sehingga bila kita tidak suka dengan pilihan yang diambil oleh Anak/Remaja, maka masyarakat perlu menyediakan pilihan-pilihan yang lebih baik bagi mereka. Misalnya mendorong remaja untuk ikut aktif dalam setiap kegiatan di lingkungan rumah, sekolah, organisasi soasial remaja yang lain atau berbagai event yang diselenggarakan di Mall dan pusat perbelanjaan baik kesenian atau olah raga

Masalah dalam perkembangan kognitif Anak/Remaja lainnya adalah munculnya egosentrisme remaja, yang menggambarkan meningkatnya kesadaran diri dan keyakinan Anak/Remaja bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar sebesar perhatian mereka sendiri terhadap perasaan dan keunikan pribadi mereka (Tracy, Margaret dan Adam dalam Sandrock, 2003). Egosentrisme remaja ini menyebabkan Anak/Remaja berani mengambil resiko tinggi, karena mereka memandang diri mereka tak terkalahkan, kebal fisik dan kebal terhadap sanksi hukum (Sandrock, 2003). Hal inilah yang membuat para Anak/Remaja ini sering melanggar hukum, seperti tidak pakai helm saat bermotor, melanggar lampu merah dan lainnya.

Problem dalam Perkembangan Moral Anak
Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain (Sandrock, 2003), yang meliputi bagaimana Anak/Remaja mempertimbangkan peraturan untuk melakukan perilaku yang sesuai dengan etika; bagaimana Anak/remaja bertingkah laku dalam situasi sebenarnya dan bagaimana perasaan Anak/remaja tenang masalah moral. Penalaran moral Anak/Remaja menjadi salah satu kebutuhan penting sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan pribadi yang harmonis dan menghindari konflik peran yang terjadi dalam masa transisi (Kohlberg, dalam Desmita, 2013). Orang yang bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas penilaian baik buruknya sesuatu.

Pada masa perkembangan moral, Anak/Remaja memiliki dorongan untuk melakukan perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Anak/Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya saja tetapi juga psikologis seperti rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain mengenai tindakannya. Dalam tahapan perkembangan moral Kohlberg (dalam Desmita, 2013), tingkat penalaran moral remaja pada tahap konvensional dimana suatu perbuatan dinilai baik oleh remaja apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok teman sebayanya.

Teori belajar sosial (Bandura dalam Sandrock, 2003) menjelaskan mengapa dan bagaimana proses penguatan, hukuman dan imitasi mempengaruhi perilaku moral Anak/Remaja. Ketika Anak/Remaja melakukan tindakan yang sesuai dengan hukum mereka mendapat penguatan, maka mereka akan cenderung untuk mengulang perilaku tersebut, dan sebaliknya ketika Anak/Remaja berperilaku yang melanggar hukum kemudian mendapat sanksi/hukuman maka mereka cenderung tidak mengulanginya dan tingkah laku itu dapat dihilangkan (Sandrock, 2003).

Oleh karena itu konsistensi dalam menegakkan aturan/hukum, nilai dan norma yang diterima oleh masyarakat harus dilakukan agar Anak/Remaja taat hukum. Masalahnya, dalam kehidupan riil di Indonesia, seringkali terjadi pembiaran terhadap perilaku Anak/Remaja yang melanggar hukum dan tidak ada penguatan terhadap perilaku yang taat hukum/aturan, nilai dan norma masyarakat. Akibatnya Anak/Remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat tentang perilaku yang sesuai/tidak sesuai dengan peraturan, nilai dan norma masyarakat. Anak/Remaja terus melakukan perilaku melanggar norma dan nilai masyarakat karena perilaku yang dilakukan tidak mendapat konsekuensi,sehingga hal itu dianggap sebagai perilaku yang benar dan diterima secara sosial.

Dalam teori ini, juga penting adanya model moral untuk membentuk perilaku Anak/Remaja agar sesuai denga nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Ketika Anak/Remaja dihadapkan pada model yang bertingkah laku secara moral, maka dia cenderung meniru tingkah laku model tersebut (Sandrock, 2003). Namun kondisi saat ini sulit untuk mendapatkan model moral yang berperilaku sesuai dengan nilai moral, sehingga Anak/Remaja tidak memiliki acuan yang tepat agar dapat berperilaku yang dapat diterima secara moral dan norma sosial.

Problem dalam Perkembangan Sosial Anak
Tugas perkembangan sosial remaja dapat ditunjukkan melalui kemampuannya untuk memahami orang lain (Yusuf, 2012). Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik dari sifat pribadi maupun perasaannya. Pemahaman ini mendorong remaja menjalin hubungan sosial yang akrab dengan teman sebaya. Santrock (dalam Desmita, 2013) melakukan investigasi dan menemukan bahwa anak yang berhubungan dengan teman sebaya 10% dari waktunya setiap hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7-11 tahun.

Masalah dalam perkembangan sosial Anak/Remaja adalah adanya pengetahuan tentang strategi yang tepat atau tidak tepat dalam mencari teman yang berhubungan dengan penerimaan dari teman sebaya dan perilaku prososial (Wentzel dan Erdley dalam Sandrock, 2003). Strategi dalam pertemanan yang tidak tepat, akan menyebabkan Anak/Remaja mendapatkan penolakan dari teman sebaya dan sebaliknya. Penolakan dari teman sebaya, dalam keadaan yang ekstrim dapat menyebabkan remaja itu melakukan bunuh diri.

Hal ini terjadi karena dalam perkembangan sosial remaja, Anak/Remaja melakukan dua macam gerak yaitu gerakan untuk memisahkan diri dari orang tua di satu sisi dan bergerak menuju kearah teman sebaya di sisi lain, sehingga ketika Anak sudah bergerak memisahkan diri dari orang tua tapi mengalami penolakan dari teman sebayanya maka Anak/Remaja akan mengalami alienasi yang selanjutnya bisa stress, depresi dan pada ujungnya memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Masalah lain yang dihadapi Anak/Remaja ketiga bergerak untuk mandiri dari rasa ketergantungan terhadap orang tuanya adalah adanya tuntutan dari orang tua untuk terus mengikuti kemauannya (Sarwono, 2013). Penelitian Kagitcibasi (dalam Sarwono, 2013), menunjukkan bahwa lebih dari 80% ibu-ibu Jawa dan Sunda mengharapkan anak mereka menuruti keinginan orang tuanya, sehingga Anak/Remaja menghadapi konflik di dalam dirinya, yaitu antara keinginannya untuk mandiri dan kehendak orang tua, karena pada masa ini mereka berada pada tahapan usia sekolah dan masih tergantung secara ekonomi dari orang tuanya.

Dalam hubungan persahabatan, remaja memilih teman yang memiliki kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya dalam ketertarikan, sikap, nilai dan kepribadiannya. Pada masa ini berkembang sikap konformitas yang merupakan kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan teman sebayanya (Desmita, 2013). Sesungguhnya konformitas kelompok juga bersifat positif karena dapat membantu Anak/Remaja dalam menemukan identitas diriinya.

Sejalan dengan yang dikemukakan Erikson (Desmita, 2013) yang melihat trend perkembangan dari perspektif normative-life-crisis, dimana teman memberikan umpan balik dan informasi yang konstruktif tentang definisi diri dan penerimaan komitmen. Namun, konformitas dapat juga memberikan efek negative bila nilai dan norma kelompok teman sebaya bertentangan dengan nilai dan norma orang tua atau masyarakat.

Dalam usaha untuk melepaskan diri dari pengaruh orang dewasa, Anak/Remaja membentuk kelompok. Kecenderungan kohesi meningkat seiring dengan meningkatnya frekuensi interaksi anggota Anak/Remaja dengan kelompoknya. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat, berkembanglah iklim dan norma kelompok yang sangat ditentukan oleh pemimpin dalam kelompok. Anak/Remaja akan lebih mementingkan norma dan moral kelompok dibandingkan norma dan moral yang dia terima dari orang tuanya sehingga dia sulit untuk dapat mengembangkan norma dan moralnya sendiri.

Problem dalam Perkembangan Kepribadian Anak
Sedangkan perkembangan psikososial remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) bahwa seorang remaja berada pada tahap perkembangan identitas versus kekacauan identitas. Tahap perkembangan ini individu dihadapkan pada kemampuan mempersiapkan diri untuk masa depan, mampu menjawab pertanyaan siapa mereka dan apa tujuan hidupnya. Bila remaja mampu mengekplorasi tahap ini dengan cara yang sehat dan positif maka akan terbentuk identitas diri yang positif. Remaja akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya seperti kesukaan atau ketidaksukaan, aspirasi dan tujuan masa depan.

Identitas ang dipaksakan dan remaja yang kurang mengeksplorasi peran yang berbeda maka akan terjadi kekacauan identitas yang berdampak pada pengembangan perilaku menyimpang, tindak kriminal, atau menutup diri dari masyarakat. Perkembangan identitas pada masa remaja menjadi penting karena memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa (Jones & Hartmann dalam Desmita, 2013).

Selanjutnya Desmita (2013) menyebutkan empat sub tahap perkembangan identitas seperti; a) diferensiasi yaitu remaja menyadari bahwa ia berbeda secara psikologis dari orang tuanya; b) praktis yaitu remaja percaya bahwa ia mengetahui segala-galanya dan dapat melakukan sesuatu tanpa salah; c) rapprochement yaitu kesedihan dan kekhawatiran yang dialami remaja mendorong mereka untuk menerima kembali sebagian otoritas orang tuanya tetapi dengan syarat; dan d) konsolidasi yaitu remaja mengembangkan kesadaran akan identitas personal yang menjadi dasar bagi pemahaman dirinya dan orang lain.

Permasalahan Anak dengan Orang Tua
Rumah merupakan lingkungan primer anak, sejak lahir sampai dengan datangnya waktu untuk meninggalkan rumah karena pernikahan (Sarwono, 2013). Sebelum anak mengenal lingkungan yang lebih luas maka dia mengenal lebih dahulu lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap anak dan lingkungan keluarga juga menjadi awal dari faktor resiko dalam perilaku kenakalan dan tindakan kriminal oleh anak. Hal itu karena lingkungan keluarga lah yang menjadi awal terbentuknya nilai yang diterima oleh anak melalui pola pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja.

Remaja pelaku kejahatan dan kekerasan di Amerika Serikat adalah remaja yang berasal dari lingkungan rumah atau keluarga yang tidak harmonis dan anak-anak dari latar belakang sosio-eknomi rendah. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya, namun dalam konteks anak-anak ABH di LPKA Blitar, hasil wawancara menunjukkan beberapa ABH ini salah satu orang tuanya tidak ada, mereka hidup dengan orang tua tunggal baik karena perceraian, meninggal atau karena bekerja sebagai TKW atau hidup bersama kakek/nenek maupun saudara lainnya.

Walsh (2003), menjelaskan munculnya beberapa masalah pada keluarga dengan orang tunggal baik wanita maupun pria yakni orang tua tunggal merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kekurangan waktu untuk mengurus diri dan kehidupan seksualnya, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner spesial, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang muncul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit. Masalah yang dihadapi oleh orang tua tunggal yang disebutkan di atas mempengaruhi pola asuh dan kualitas komunikasi orang tua dengan anak, sehingga dapat menjadi penyebab anak merasa tidak bahagia/tidak nyaman di rumah dan mendorong mereka untuk mencarinya di luar rumah.

Selain kondisi di atas, pola asuh yaitu bagaimana orang tua mengasuh dan mendidik anaknya di rumah, juga sangat berperan dalam mendidik anak. Pola asuh dibagi menjadi pola asuh otoriter, permisif dan univolved. Pola asuh otoriter dicirikan dengan orang tua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak tanpa kehangatan dari orang tua. Pendidikan disiplin dengan penerapan yang keras dengan memberikan hukuman fisik dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji dalam A. Budi, 2009).

Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan amarahnya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhannya, misalnya anak dilarang untuk bermain di luar, tetapi kedua orang tua tidak memberi perhatian karena kesibukan mereka.

Pola asuh permisif dicirikan dengan orang tua yang terlalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan ataupun kontrol, anak dibolehkan untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Hurlock (1998) menjelaskan bahwa pola asuh permisif dicirikan dengan tidak ada bimbingan untuk anak dan orang tua menyetujui semua tingkah laku anak termasuk keinginan-keinginan yang sifatnya segera dan tidak menggunakan hukuman. Pola asuh ini juga ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri dan orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua. Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

Pola asuh permisif membuat hubungan anak-anak dengan orang tua penuh dengan kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menuruti kata hatinya. Secara lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan akan bertingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga. Kurangnya kendali orang tua dan pemberian hukuman pada anak dapat mendorong seorang anak untuk terlibat dan melanjutkan perilaku tertentu, seperti kriminalitas.

Pola asuh uninvolved dicirikan dengan menjelaskan bahwa pada pola asuh uninvolved orangtua yang tidak terlibat dalam aktivitas anak, tidak ada tuntutan dan kontrol serta tidak tertarik pada pendapat, pandangan anak dan juga kegiatan anak (Baumrind dalam Santrock, 2003). Chormelianti (2015) menemukan bahwa penelantaran orang tua terhadap perkembangan anak menyebabkan terbentuknya karakter yang berpotensi besar melakukan tindak pidana karena anak tidak mendapatkan kasih sayang, pengakuan, figure orang tua dan tidak terpenuhinya kebutuhan anak sebagaimana mestinya. Pola asuh ini menjadikan anak kekurangan ikatan dengan orang tua, dan secara kognitif, emosi, keterampilan sosial dan perilaku kurang berkembang, kontrol diri lemah, self-esteem rendah dan merasa terasing/diabaikan dalam keluarga.

REFERENSI:
Desmita. (2013). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Hurlock, E. (1998). Psikologi Perkembangan: pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

LN Yusuf. S. 2012. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Santrock, J.W. (2003). Life- Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jilid 2. Alih Bahasa: Damanik, J., dan Chusairi, A. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S.W. (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali.

Wals, F. (2003). Family resilience. A Framework for Clinical Practice. Family Process. Vol. 42, Issue 1, pages 1–18, March 2003.

Posting Komentar