Sabtu, 01 Juni 2024

KETIKA ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM

Akhir-akhir ini Indonesia digegerkan dengan peristiwa-peristiwa hukum dimana anak terbukti sebagai pelaku. Ini adalah bukti bahwa masalah anak berkonflik dengan hukum tidak bisa dianggap sepele. Selain jumlahnya semakin meningkat, bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga sudah semakin beragam, bahkan melakukan tindakan yang selama ini dirasa tak mungkin dilakukan oleh seorang anak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana. Tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelakunya dapat dipidana. Ragam tindak pidana yang dilakukan oleh anak antara lain: mencuri; membunuh; memperkosa; terorisme; pornografi; tindak pidana informasi dan transaksi elektronik; kekerasan; dan tindak pidana narkotika.

Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan di segala aspek, seperti fisik-motorik, kognitif, sosio-emosional, bahasa-komunikasi dan moral-spiritual. Oleh karena itu, anak belum seutuhnya mampu memahami suatu perilaku dan konsekuensinya, apalagi jika anak tidak memiliki teladan (role model) yang ideal. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa anak menjadi pelaku tindak pidana atau berkonflik dengan hukum, antara lain: kondisi keluarga misalnya: pola asuh yang tidak sehat, konflik di antara orangtua, kemiskinan, dan ketidakharmonisan dalam keluarga; pengaruh buruk pergaulan misalnya: narkoba, perundungan (bullying), pornografi, pencurian, kejahatan seksual, perkelahian, dan kekerasan ; pengaruh buruk internet dan digitalisasi misalnya: kejahatan cyber; dan faktor internal anak, seperti tingkat kecerdasan dan masalah gangguan kesehatan mental pada anak.

Dampak Berkonflik dengan Hukum terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Apabila anak berkonflik dengan hukum, maka anak akan mengalami masalah dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Proses hukum akan menyita waktu, emosi dan tenaga anak. Ini dapat membuat anak tertekan. Anak dapat menjadi ketakutan, sedih, marah, kecewa atau cemas. Hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi status kesehatan anak, baik fisik maupun mental. Proses yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak pendek pasti akan mengganggu waktu belajar dan bermainnya. Belum lagi jika anak diputus pidana penjara. Sebaik apa pun kondisi di penjara, penjara bukan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Stigma negatif sebagai pelaku kejahatan dan narapidana akan melekat padanya seumur hidup. Ini akan berpengaruh buruk pada harga diri, kepercayaan diri dan penerimaan orang pada dirinya. Ia akan kesulitan dalam bergaul, sekolah, bekerja atau berusaha. Berbagai kesulitan ini dapat membuat anak menjadi mengulangi kembali perilaku melawan hukum yang pernah ia lakukan.

Perlindungan Hukum kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak; memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi; memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; memperoleh pendidikan; memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem Peradilan Pidana Anak harus dilaksanakan berdasarkan asas pelindungan; keadilan; nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; proporsional; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan. Ketika akhirnya anak harus dikenai pidana, ia berhak untuk mendapat pengurangan masa pidana; memperoleh asimilasi; memperoleh cuti mengunjungi keluarga; memperoleh pembebasan bersyarat; memperoleh cuti menjelang bebas; memperoleh cuti bersyarat; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Pasal 2 & 4).

Sistem Peradilan Pidana Anak juga wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif yang meliputi: penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (Pasal 5 Ayat (1 dan 2)). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 Ayat (6)).

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, penyidikan dan penuntutan pidana serta persidangan wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Pasal 5 Ayat (3) dan Pasal 6). Dalam Pasal 17 dijelaskan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat. Pelindungan khusus dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.

Dalam menangani perkara anak, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Identitas anak wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas meliputi nama anak, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak. Apabila tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum ia genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah ia melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak. Akan tetapi, jika anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Keputusan diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari (Pasal 18-21 Ayat (1)).

Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak tidak memakai toga atau atribut kedinasan. Dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Apabila anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia, maka anak diajukan ke pengadilan anak, sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Jika dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya (Pasal 22-24, 27).

Penangkapan terhadap anak guna kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Apabila ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, anak dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Penangkapan terhadap anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. Selain itu, biaya bagi setiap anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan jika anak memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat: anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Syarat penahanan sebagaimana harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Untuk melindungi keamanan anak, dapat dilakukan penempatan anak di LPKS (Pasal 30 & 32).

Penahanan untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari. Jangka waktu penahanan atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 8 (delapan) hari. Jika jangka waktu telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS). Apabila LPAS tidak ada, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat. Jika penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penuntutan, maka penuntut umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari. Jangka waktu penahanan atas permintaan penuntut umum dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari. Akan tetapi, jika jangka waktu telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Apabila penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. Jangka waktu atas permintaan hakim dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari. Jika jangka waktu telah berakhir dan Hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum (Pasal 33-35).

Jika penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari. Jangka waktu tersebut, atas permintaan Hakim Banding dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 15 (lima belas) hari. Apabila jangka waktu telah berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Apabila penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari. Jangka waktu tersebut, atas permintaan Hakim Kasasi dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari. Jika jangka waktu telah berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Apabila jangka waktu penahanan telah berakhir, anak harus segera dikeluarkan demi hukum. Selain itu, pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali bahwa anak berhak memperoleh bantuan hukum. Apabila pejabat tidak memberitahukan hal tersebut, maka penangkapan atau penahanan terhadap anak batal demi hukum (Pasal 37-39 & 41).

Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara anak yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh anak, orang tua/wali, dan/atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus anak; ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa; dan waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan. Dalam sidang anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Jika orang tua/wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan. Bila hakim tidak melaksanakan ketentuan, maka sidang anak batal demi hukum (Pasal 51 & 53-55).

Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, anak dipanggil masuk beserta orang tua/wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan. Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain. Laporan berisi: data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; latar belakang dilakukannya tindak pidana; keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa; hal lain yang dianggap perlu; berita acara Diversi; dan kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 56-57).

Pada saat memeriksa anak korban dan/atau anak saksi, Hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar ruang sidang, dan orang tua/wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir. Sidang Anak dilanjutkan setelah anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh anak korban dan/atau anak saksi pada saat anak berada di luar ruang sidang pengadilan. Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak. Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Jika laporan penelitian kemasyarakatan tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum (Pasal 58-60).

Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Identitas anak tetap harus dirahasiakan oleh media massa, dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar. Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Pidana pokok bagi anak terdiri atas: pidana peringatan; pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan; pelatihan kerja; pembinaan dalam lembaga; dan penjara. Pidana tambahan terdiri atas: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau pemenuhan kewajiban adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak (Pasal 61 & 69-71).

Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat. Syarat khusus adalah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama dari masa pidana dengan syarat umum. Jangka waktu masa pidana dengan syarat paling lama 3 (tiga) tahun. Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Selama anak menjalani pidana dengan syarat, anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun. Jika hakim memutuskan anak dibina di luar lembaga, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan ditentukan dalam putusannya (Pasal 72-74).

Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan: mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang positif. Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan terhadapnya. Pidana pelayanan masyarakat untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam. Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Anak yang dijatuhi pidana pengawasan ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan (Pasal 75-77).

Pidana pelatihan kerja dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak dan dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan karena anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa. Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini (Pasal 78-79).

Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai anakaberumur 18 (delapan belas) tahun. Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi: pengembalian kepada orang tua/wali; penyerahan kepada seseorang; perawatan di rumah sakit jiwa; perawatan di LPKS; kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana (Pasal 81-82).

Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS berhak memperoleh pelayanan, perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan. Balai Pemasyarakatan (Bapas) wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program. Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA dan berhak memperoleh pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan. Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program (Pasal 84-85).

Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Jika telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai menjalani pidana, maka dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan anak. Apabila tidak ada lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat memindahkan anak ke lembaga pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan. Anak yang berstatus Klien Anak menjadi tanggung jawab Bapas. Klien Anak berhak mendapatkan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bapas wajib menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bapas wajib melakukan evaluasi pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain (Pasal 86).

Upaya Preventif agar Anak Tidak Berkonflik dengan Hukum
Menanamkan etika, moral, nilai-nilai budaya dan agama; memberikan pendidikan literasi; dan memberikan pendidikan hukum kepada anak adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan guna menghindarkan anak dari perilaku melawan hukum. Pengawasan terhadap anak oleh orangtua, guru, masyarakat dan pemerinta baik untuk dilakukan karena melindungi anak merupakan tugas dan tanggung jawab semua lapisan masyarakat dan pemerintah. Selain itu, setiap keluarga perlu menciptakan keluarga yang harmonis; penuh cinta kasih, penerimaan dan penghargaan, dimana orangtua dapat menjadi teladan (role model) yang ideal dapat menghindarkan anak dari berkonflik dengan hukum.

Posting Komentar