Minggu, 02 Juni 2024

MEMBANTU ANAK MEREGULASI EMOSI

Isu gangguan kesehatan mental pada anak tahun-tahun terakhir jadi isu yang harus dipikirkan solusinya. Tantrum; berkelahi; menyerang atau menyakiti orang; melakukan tindakan destruktif seperti merusak barang-barang di sekitarnya; menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri pada anak cukup banyak terjadi. Perilaku-perilaku ini merupakan salah satu indikasi bahwa anak tidak memiliki kemampuan yang baik dalam meregulasi emosi. Secara sederhana regulasi emosi dapat diartikan sebagai suatu keterampilan dimana individu mampu mengelola emosi dan perilakunya dengan tepat, misalnya: mampu menolak reaksi yang reaktif dan emosional ketika ada stimulus yang mengecewakan; mampu menenangkan diri saat marah; dan mampu menangani rasa frustasi dengan baik tanpa ledakan emosi.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi emosi individu, yang pertama adalah faktor internal seperti kematangan berpikir, kepribadian, dan status kesehatan mental. Anak adalah individu yang sedang dalam proses perkembangan kognitif. Hal ini mempengaruhi kematangan berpikir anak sehingga ia lebih mudah reaktif dibandingkan dengan orang dewasa. Misalnya: jika digoda, anak bisa merasa tidak nyaman dan langsung menangis. Selain itu, anak dengan kepribadian yang temperamental cenderung emosional dalam menyingkapi stimulus. Status kesehatan mental anak juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi emosi anak. Anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) pada umumnya memiliki masalah dalam meregulasi emosi. Faktor kedua yang dapat mempengaruhi emosi anak adalah faktor eksternal seperti pola asuh, lingkungan keluarga, pergaulan, beban sekolah, dan internet. Ketidakmampuan orangtua dalam menerapkan pola asuh yang tepat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan anak mengalami masalah emosi, misalnya: selalu permisif, selalu otoriter atau selalu mengabaikan. Selain itu, keluarga yang tidak harmonis  akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan emosi anak. Pergaulan anak juga dapat mempengaruhi perkembangan emosi anak. Perundungan (bullying) dan bergaul dengan anak-anak yang bermasalah dalam emosi akan membuat anak mengalami masalah emosi. PR tidak selalu menjadi solusi untuk menstimulasi kedisiplinan anak dalam belajar. PR bisa menjadi penyebab anak mengalami masalah emosi. Misalnya: PR yang harus dikerjakan ketika libur, PR yang terlalu banyak atau PR yang terlalu berat untuk anak. Video games, games online; youtube, dan media sosial juga menjadi penyebab emosi negatif  anak.

Regulasi emosi adalah keterampilan yang sangat penting dikuasai oleh anak sejak dini karena akan mempengaruhi status kesehatan mental; pendidikan dan prestasi akademik; hubungan dengan orang lain dan citra diri anak. Regulasi emosi bukan suatu keterampilan yang mudah. Banyak orang dewas,  yang otaknya sudah berkembang sepenuhnya mengalami kesulitan dalam meregulasi emosi, apalagi anak kecil yang otaknya masih dalam proses perkembangan. Itulah sebabnya, anak perlu dibantu meregulasi emosi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya membantu anak meregulasi emosi, antara lain: membangun rumah yang nyaman; keteladanan orangtua; membangun hubungan yang positif dengan anak; menerapkan pola asuh yang berimbang dan konsisten; tidak ikut marah ketika anak marah; tidak melakukan kekerasan pada anak; menenangkan dan mengajarkan teknik menenangkan diri pada anak; membantu anak mengidentifikasi perilaku emosional dan pemicunya; membantu anak mengidentifikasi perasaannya dan pemicunya; membantu anak mengidentifikasi keinginan dan pikirannya; mengajarkan anak tentang perasaan, pikiran  dan keinginan; mengajarkan anak teknik mengekspresikan perasaan dengan tepat;  mendorong dan melatih anak untuk mengkomunikasikan keinginan, pikiran dan perasaannya dengan tepat; menerapkan konsekuensi; mendiskusikan dengan pihak yang berkepentingan; dan mencari pertolongan ahli.

Membangun Rumah yang Nyaman   

Rumah yang nyaman bukan  bangunan megah, mentereng dan mewah dengan halaman asri nan luas. Rumah yang nyaman adalah rumah dimana ada cinta kasih. Cinta kasih akan membuat sesama anggota kelurga saling menerima dan menghargai. Inilah yang membuat rumah menjadi nyaman sehingga membuat emosi semua anggota keluarga menjadi teduh dan mereka betah tinggal di sana. Semua orang membutuhkan rumah yang nyaman. Oleh karena itu, rumah yang nyaman perlu dibangun.

Keteladanan Orangtua

Cara belajar yang efektif bagi anak adalah dengan meniru apa yang ia lihat dan dengar, terutama yang ia lihat dan dengar di rumahnya. Itulah sebabnya keteladanan orangtua dalam meregulasi emosi anak merupakan hal yang sangat penting.

Membangun Hubungan yang Positif dengan Anak

Hubungan yang positif antara orangtua dan anak akan membuat anak merasa nyaman dan aman. Hubungan yang positif akan terjadi apabila orangtua dapat menghargai dan dipercayai oleh anak. Dengan demikian, orangtua menjadi rekomendasi pertama dan utama bagi anak untuk mencari nasihat dan pertolongan ketika terjadi sesuatu pada dirinya. Ini juga membuat emosi anak lebih teduh dan terkontrol.

Menerapkan Pola Asuh yang Berimbang dan Konsisten

Pola asuh yang diterapkan kepada anak dapat mempengaruhi kondisi emosi anak. Pola asuh yang berimbang dan konsisten  dapat membuat emosi anak stabil dan tidak meledak-ledak dalam merespon stimulus yang diterima.

Tidak Ikut Marah ketika Anak Marah

Marah kepada anak yang sedang marah tidak bukan solusi, bahkan akan membuat keadaan semakin kacau. Teriakan amarah orangtua dan anak tidak hanya membuat emosi keduanya makin kacau, tetapi menimbulkan ketidaknyaman bagi orang-orang di sekitar mereka termasuk tetangga. Jika itu terjadi di tempat umum, tentu mengganggu kepentingan umum. Bahakn, kemarahan orangtua terhadap kemarahan anak dapat membuat orangtua melakukan tindak kekerasan kepada anak. Ada kalanya orangtua menjadi marah melihat anaknya marah. Itu dapat dipahami. Akan tetapi, dari pada memperparah keadaan, lebih baik menenangkan. Setelah tenang, barulah maju untuk menenangkan anak.

Tidak Melakukan Kekerasan pada Anak

Apa pun alasannya, kekerasan kepada anak tidak dibenarkan. Kekerasan terhadap anak adalah perilaku melanggar hukum sehingga pelakunya diancam dengan hukuman yang serius. Bahkan, ada pemberatan hukuman jika pelaku adalah orangtua atau pendidik. Oleh karena itu, kekerasan bukan cara yang benar untuk mengajarkan regulasi emosi kepada anak.

Menenangkan dan Mengajarkan Teknik Menenangkan Diri pada Anak

Anak yang sedang menangis atau tantrum harus ditenangkan. Misalnya: dipeluk; dibawa ke “ruang tenang,  misalnya kamar tidurnya, bangku kecil di pekarangan belakang dan lain-lain; memberikan ibunya atau boneka kesayangannya untuk dipeluknya; atau mengelus-elus lembut punggungnya. Ada orangtua yang memberikan gadget sebagai upaya menenangkan anak. Hal ini tidak direkomendasikan karena mempunyai banyak efek negatif. Dalam banyak kasus, gadgetlah yang membuat anak menjadi memiliki masalah emosi. Anak juga perlu diajarkan teknik menenangkan diri, misalnya: mengatur pernafasan; mewarnai; mendengarkan musik; berbaring dan tidur; duduk di taman; mencuci muka; minum air putih; dan lain-lain. Mengatakan hal yang positif kepada diri sendiri (self talk) cukup ampuh pada sebagian anak untuk menenangkan diri. Misalnya mengatakan pada diri sendiri: aku pasti bisa melewati semua ini; aku bisa tenang; dan lain-lain.Teknik menenangkan diri untuk masing-masing anak berbeda, bahkan untuk setiap anak bisa berbeda dalam situasi yang berbeda. Itulah sebabnya anak perlu diajarkan banyak teknik untuk menenangkan diri.

Membantu Anak Mengidentifikasi Perilaku Emosional dan Pemicunya

Kemampuan mengidentifikasi perilaku emosional dan pemicunya dapat mencegah terjadinya perilaku emosional. Misalnya: jika anak marah maka ia memiliki kecenderungan memukul orang yang membuatnya marah. Anak harus diajar bahwa marah adalah wajar tetapi memukul orang adalah perilaku yang tidak baik. Jika anak memukul orang lain, maka orang itu sangat mungkin membalas memukulnya dengan pukulan yang lebih hebat dan anak akan kesakitan. Oleh karena itu, jika marah, anak bisa melakukan hal lain, misalnya: meninggalkan orang itu dan masuk kamar; mewarnai; menulis semua yang ia rasakan di buku atau komputer; bermain musik; dan lain-lain.

Membantu Anak Mengidentifikasi Perasaannya dan Pemicunya

Semua orang memiliki perasaan termasuk anak. Itulah sebabnya anak harus dibantu untuk mengidentifikasi perasaannya dan pemicunya. Misalnya: anak akan marah jika dibilang bodoh, gendut, pesek; anak akan sedih jika pulang sekolah langsung disuruh mengerjakan PR; anak menjadi takut jika ruangan gelap dan ia hanya sendiri di ruangan itu; dan lain-lain.

Membantu Anak Mengidentifikasi Keinginan dan Pikirannya

Berbagai emosi dapat muncul ketika keinginan anak terpenuhi atau tidak terpenuhi atau pikirannya. Misalnya: menjadi sedih karena tidak tidak dibelikan mainan; anak takut karena ia berpikir ayahnya pasti akan marah kepadanya. Jadi, anak perlu dibantu untuk mengidentifikasi keinginan dan pikirannya.

Mengajarkan Anak tentang Perasaan, Pikiran dan Keinginan

Semua orang pasti memiliki perasaan, pikiran dan keinginan, termasuk  anak. Anak harus memahami hal ini. Dengan demikian, ia tidak merasa aneh atau merasa ada yang salah pada dirinya karena perasaan, pikiran dan keinginannya. Yang tidak tepat adalah jika perasaan diekspresikan dengan cara salah, atau memaksakan pikiran dan keinginan kepada orang lain.

Mengajarkan Anak Teknik Mengekspresikan Perasaan dengan Tepat

Anak perlu memiliki keterampilan mengekspresikan perasaan dengan tepat. Misalnya: jika marah tidak perlu menghancurkan piring dan perabotan lainnya, tetapi bisa dengan memukul samsak, dan hanya samsak yang boleh dipukul; jika sedih tidak perlu meraung-raung dengan sangat keras, tetapi bisa mencurahkan perasaan dengan bernyanyi, mendengarkan musik atau berdoa.

Mendorong dan Melatih Anak untuk Mengkomunikasikan Keinginan, Pikiran dan Perasaannya dengan Tepat

Ada kalanya keinginan, pikiran dan perasaan anak harus dikomunikasikan. Akan tetapi, harus dikomunikasikan kepada orang yang tepat dan dengan cara yang tepat. Misalnya: anak tidak mau pulang sekolah langsung bikin PR. Ia mau mengerjakan PR setelah istirahat. Ini harus ia komunikasikan kepada ibunya. Ia harus bicara baik-baik, tanpa marah-marah apalagi sambil membanting barang-barang.

Menerapkan Konsekuensi

Ada anak yang menjadikan tantum sebagai cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Ini terjadi karena orangtua langsung menyerah kepada anak ketika anak tantrum atau menunjukkan tanda-tanda akan tantrum. Ini tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, akan membuat anak bertindak semaunya tanpa aturan. Itulah sebabnya, orangtua harus tegas. Komunikasikan kepada anak bahwa segala sesuatu mengandung konsekuensi, termasuk perilakunya. Walaupun tidak boleh bertindak semena-mena dan tidak boleh melakukan kekerasan kepada anak, bukan berarti orangtua tidak punya wibawa dan otoritas atas anak. Ada kalanya dalam memutuskan sesuatu orangtua harus menanyakan persetujuan anak, tetapi ada waktu dimana orangtua tidak perlu mendapat persetujuan  anak. Artinya, anak harus taat kepada orangtuanya. Di sini dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan orangtua untuk menimbang dan memutuskan mana yang harus disepakati dengan anak, mana yang harus ia putuskan sendiri. Tujuan dari semua itu adalah semata-mata demi kepentingan terbaik anak.

Mendiskusikan dengan Pihak yang Berkepentingan

Berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkepentingan perlu dilakukan, misalnya dengan guru di sekolah. Bukan untuk membuat banyak orang menjadi tahu masalah regulasi emosi pada anak, tetapi untuk menambah kekuatan dalam membantu anak meregulasi emosinya.

Mencari Pertolongan Ahli

Masalah regulasi emosi pada anak bisa muncul karena masalah neurologi. Ini biasa terjadi pada anak penyandang autis dan ADHD. Oleh karena itu, pertolongan dan ahli sangat dibutuhkan, misalnya mencari pertolongan kepada ahli pendidikan anak berkebutuhan khusus; psikolog klinis; atau psikiater. 

Posting Komentar