Minggu, 07 Juli 2024

PENDIDIKAN HUKUM UNTUK ANAK

Akhir-akhir ini semakin banyak anak yang menjadi korban kejahatan, baik dalam bentuk perdagangan anak, kekerasan fisik, perundungan (bullying), kejahatan cyber, narkoba/napza, pembunuhan, pemerkosaan, pornografi, dan lain-lain. Selain itu, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan juga semakin meningkat. Banyak di antara mereka yang harus berhadapan dengan hukum dan mendapat vonis hukuman penjara. Padahal, anak adalah individu yang sedang dalam proses perkembangan. Jadi, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan adalah hal yang sangat merugikan hidup anak. Oleh karena itu, anak harus diberikan pendidikan hukum sedari dini. Pendidikan hukum yang diberikan kepada anak bukan untuk mengkondisikan anak belajar ilmu hukum secara formal atau menjadikannya sebagai praktisi hukum, akan tetapi agar anak memahami apa yang menjadi kewajibannya; apa haknya; apa yang harus ia lakukan ketika diperlakukan dengan tidak baik oleh orang lain atau mendapat ancaman kejahatan dari pihak mana pun; dan apa yang harus ia lakukan ketika ia dipaksa untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum.

Selain itu, Indonesia menganut Asas Fiksi Hukum. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure). Ketentuan tersebut berlaku mengikat, sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat) (https://jdih.mahkamahagung.go.id/berita-detail/penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma). Jadi, memberikan pendidikan hukum kepada anak sejak dini sangat penting guna membentuk karakter anak dan menjadikan anak sebagai individu yang taat hukum.

Beberapa hal di bawah ini dapat dipertimbangkan dalam memberikan pendidikan hukum kepada anak.

Gunakan Bahasa yang Sederhana

Anak, terutama yang masih sangat kecil, sedang dalam proses perkembangan berbahasa dan berkomunikasi. Oleh karena itu, kosa kata yang mereka pahami masih sangat terbatas. Jika memberikan pendidikan hukum kepada mereka, maka harus menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana. Penggunakan istilah asing atau pun istilah-istilah hukum yang tidak dipahami oleh orang awam apalagi anak-anak harus dihindari. Jika kita nekat menggunakan istilah-istilah yang tidak biasa dan sulit untuk diucapkan, selain tidak paham, maka  anak akan enggan untuk mendengarkan apa yang sedang kita jelaskan kepadanya.

Semua Orang Punya Kewajiban

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. Semua orang, termasuk anak, punya kewajiban. Kewajiban anak sangat tergantung dari peran yang ia sandang. Misalnya: kewajibannya sebagai seorang anak; kewajibannya sebagai seorang adik, kewajibannya sebagai seorang kakak, kewajibannya sebagai anggota keluarga; kewajibannya sebagai seorang murid; kewajibannya sebagai umat beragama; kewajibannya sebagai seorang warga komplek perumahan, dan kewajibannya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh: sebagai anak, ia harus taat kepada orangtuanya; sebagai warga komplek, ia tidak boleh menyetel musik dengan suara yang sangat kencang karena ia harus menjaga ketertiban lingkungannya; sebagai seorang siswa ia harus mematuhi semua peraturan sekolah; sebagai seorang pemeluk agama tertentu ia harus taat kepada ajaran agamanya; dan sebagai seorang warga Negara Kesatuan Republik Indonesia ia harus mematuhi hukum dan pemerintahan. Kewajiban mendahului hak. Artinya, sebelum mendapatkan haknya seseorang harus terlebih dahulu melakukan kewajibannya. Kewajiban dan hak saling terkait. Tidak ada hak tanpa kewajiban, dan orang yang sudah melakukan kewajibannya harus mendapatkan haknya. Anak harus diajarkan apa yang menjadi kewajibannya dan harus melakukan kewajibannya dengan baik. Dengan demikian, ia berhak memperoleh hak-haknya.

Semua Orang Punya Hak

Sama halnya dengan kewajiban, anak juga memiliki hak. Misalnya: sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, anak berhak medapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi; sebagai anak ia berhak disayangi; sebagai murid ia berhak atas layanan pendidikan yang baik; dan lain-lain. Jika anak menyadari dan melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka anak dapat menuntut atau meminta apa yang menjadi haknya.

Mengajarkan Etika, Nilai-Nilai Moral, dan Nilai-nilai Agama

Memberikan pendidikan hukum kepada anak bukan berarti mengajarkan tentang peraturan perundang-undangan semata, tetapi juga tentang etika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai agama. Pendidikan hukum kepada anak sebaiknya dimulai dari mengajarkan etika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai yang dianut oleh anak. Misalnya: jika masuk ke dalam rumah orang harus dengan izin yang punya rumah baik; tidak boleh mengambil mainan teman tanpa seizinnya; tidak boleh menyontek; jujur; sopan; dan lain-lain. Jika sejak kecil anak sudah terbiasa hidup dalam etika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama yang dianutnya, maka sangat mudah baginya untuk taat kepada hukum yang berlaku di mana pun ia tinggal. Ia akan tumbuh menjadi individu yang taat hukum, menghormati hak-hak orang lain, mengerjakan kewajibannya dan sadar akan hak-haknya.

Di mana-mana Ada Peraturan

“Ubi Societas Ibi Ius”, yang berarti di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Secara sederhana hukum dapat disamakan dengan peraturan. Di mana-mana ada peraturan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang ada di situ. Setiap tempat memiliki peraturan yang berbeda.  Anak harus dibantu untuk memahami hal ini. Ia harus paham bahwa di mana pun ia berada, di sana ada peraturan yang harus ia hormati dan taati. Misalnya: di rumahnya ada peraturan, misalnya: semua anggota keluarga sudah harus bangun paling lambat pukul 05:00 pagi; di sekolah ada peraturan, misalnya: semua siswa/I harus menggunakan pakaian seragam yang sudah ditentukan; di jalan raya aa peraturan, misalnya: menyerberang jalan harus melalui Jembatan Penyeberangan Orang (JPO); di rumah sakit ada peraturan, misalnya: tidak boleh berisik; dan lain-lain. Jika sejak dini anak memahami hal ini, ia akan tumbuh menjadi individu yang sadar dan taat hukum.

Menyampaikan Argumentasi dengan Logis dan Persuasif

Setiap orang berhak berpendapat, termasuk anak. Akan tetapi pendapat harus disampaikan dengan cara yang benar dan di waktu serta tempat yang tepat. Saat ini, banyak anak yang bermasalah dengan orang lain dan hukum karena salah dalam menyampaikan pendapatnya. Sejak dini anak harus dilatih untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi dengan argumentasi yang logis dan persuasif.  Misalnya: Ayah mengajak Peter ke rumah om Hadi, teman ayah. Peter tidak mau. Jika tidak mau ikut, Peter tidak boleh menangis atau marah-marah, tetapi harus menyampaikan keinginannya tersebut dengan baik, dengan alasan yang tepat. Misalnya: tidak mau ikut karena mau menyelesaikan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan, mau istirahat di rumah atau ingin main dengan adik di rumah.

Berani Menolak

Tidak semua perintah, ajakan, atau tawaran harus diterima oleh anak. Oleh sebab itu, anak harus diajar untuk berani menolak. Misalnya: Adi diajak Bram pulang sekolah langsung pergi bermain ke mall. Orangtua Adi sudah berpesan jika pulang sekolah harus langsung pulang. Karena jika menerima ajakan Bram berarti tidak taat kepada orangtua, maka Adi harus berani menolak.

Berani Melindungi Diri dan Orang Lain

Ada kalanya mendapat perlakuan tidak baik dari orang lain tidak terelakkan oleh anak. Dalam hal ini, anak harus berani melindungi dirinya. Misalnya: berupaya membebaskan diri, berlari menjauh, berteriak minta tolong, dan lain-lain. Selain itu, anak juga harus dididik untuk berani melindungi orang lain yang mengalami tindak pelanggaran hukum. Misalnya: Bram memiliki teman yang bernama Joy. Suatu hari, Bram melihat Joy dipaksa oleh Iwan untuk memberikan semua uangnya. Maka, yang dapat dilakukan oleh Bram adalah menasehati Iwan dan mengatakan pada Iwan hal tersebut tidak baik dan melanggar hukum. Keberanian anak dalam melindungi diri dapat membuatnya terlepas dari kejahatan.

Berani Melapor

Ketika ada pihak yang merampas atau tidak memberikan hak anak, maka anak harus berani melapor. Misalnya: ada tetangga yang memperlihatkan video porno kepadanya; ada orang tak dikenal menawarkan uang kepadanya; dan lain-lain. Laporan dapat disampaikan kepada orangtua, wali, atau guru. Untuk peristiwa yang lebih besar seperti upaya penculikan, penganiayaan, dan kejahatan lain, dapat dilaporkan kepada  Polisi atau lembaga-lembaga perlindungan anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga lain yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Mulai dari Rumah

Sama halnya dengan banyak bentuk pendidikan lainnya terutama yang terkait dengan nilai-nilai, pendidikan hukum kepada anak harus diberikan mulai dari rumah. Jika di rumah anak sudah taat hukum, maka lebih mudah baginya untuk menaati hukum-hukum lain yang berlaku di luar rumah. Sebaliknya, jika di rumah anak terbiasa hidup suka-suka, maka ketika berada di luar rumah (misalnya: di sekolah atau di masyarakat), ia akan sulit beradaptasi terhadap peraturan yang berlaku di sana.

Orangtua harus Dapat Menjadi Teladan dalam Perilaku Taat Hukum  

Apabila orangtua dapat menjadi teladan dalam perilaku taat hukum, maka anak lebih mudah memahami dan melakukan perilaku taat hukum. Oleh karena itu, orangtua harus dapat menjadi teladan bagi anak dalam perilaku taat hukum.

Posting Komentar