Jumat, 10 Mei 2024

Diversi Dalam Penyelesaian Pidana Anak

Pasal 28B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa anak merupakan masa depan suatu bangsa. Perlindungan terhadap kehidupan anak merupakan bentuk keharusan bagi suatu bangsa untuk menjamin hak setiap anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang.

Dalam perkara tindak pidana seringkali ditemukan anak dalam permasalahan hukum, baik sebagai tersangka hingga menjadi korban dari suatu tindak pidana. Perkara pidana pada umumnya bersifat kaku dan memiliki waktu yang panjang dalam penyelesaiannya, sehingga diperlukan penyelesaian pidana anak yang memiliki prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan menghadirkan keadilan restoratif. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 04 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, proses penyelesaian perkara anak dapat dilakukan di luar mekanisme pidana atau biasa disebut sebagai Diversi.

Menurut UU SPPA, Diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi memiliki tujuan sebagai berikut:

mencapai perdamaian antara korban dan anak;
menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Penyelesaian pidana anak melalui diversi dilakukan dengan pendekatan restoratif. Melalui pendekatan restoratif maka diperlukan suatu musyawarah dan melibatkan semua pihak terkait antara lain, anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial (PEKOS) Profesional, perawakilan dan pihak terlibat lainnya agar tercapainya kesepakatan diversi. Musyawarah Diversi adalah penyelesaian tindak pidana anak melalui konsep dialog antara semua pihak sehingga menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana dalam mengedepankan keadilan restoratif. Dialog atau musyawarah adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan restoratif, sehingga diperlukan fasilitator dalam melakukan musyawarah diversi yakni hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan.

Dalam PERMA Nomor 04 tahun 2014, dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi yang mewajibkan fasilitator untuk dapat memberikan kesempatan kepada:

anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan;
orang tua / wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan;
korban / anak korban / orang tua / wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang diharapkan.
Dalam musyawarah diversi, jika kesepakatan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh para pihak berdasarkan laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan, maka Hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Pidana Anak. Hakim dalam menjatuhkan putusannya wajib mempertimbangkan pelaksanaan sebagian kesepakatan diversi. Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara fasilitator diversi dengan salah satu pihak yang diketahui oleh pihak lainnya.

Di luar itu, persoalan perkara pidana anak juga dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non formal dapat dilakukan dengan diversi sebagaimana proses mediasi yang difasilitasi oleh penegak hukum pada setiap tingkat. Dalam mencapai keadilan restoratif, dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu berupa tindakan lainnya yang dilakukan dengan pemulihan bagi anak serta korban, ataupun jika terpaksa terjadi penghukuman, hak-hak anak tersebut tidak boleh diabaikan, sehingga pada akhirnya penanganan non formal dapat terlaksana dengan baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang kondusif.

Penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi dapat juga digambarkan sebagai suatu sistem ketika fasilitator mengatur proses penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan sebagai keadilan restoratif. Tradisi dan mekanisme musyawarah mufakat merupakan wujud nyata dalam memperkuat hukum yang hidup dalam masyarakat sejak dulu. Dengan demikian, inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian masyarakat, dialog, rasa memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perspektif keadilan restoratif.

Posting Komentar