Minggu, 28 Juli 2024

ORANGTUA SEBAGAI ROLE MODELS (PANUTAN) DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK

Orang Barat bilang: “like father like son”, “like mother like daughter”, “like parents like child”.  Dalam bahasa Indonesia ungkapan ini dimaknai sama dengan ungkapan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Sampai saat ini saya masih setuju dengan ungkapan ini karena masih relevan. Pada umumnya, buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hanya pada kasus-kasus tertentu saja buah jatuh jauh dari pohonnya. Misalnya, pada saat ada badai atau angin sangat kencang, besar kemungkinan buah jatuh jauh dari pohonnya karena diterbangkan oleh angin. Atau, jika pohon tumbuh di pinggir jurang, besar kemungkinan buahnya akan jatuh dari pohonnya karena tergelinding ke dasar jurang. Tetapi sekali lagi, pada umumnya buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Pun demikian halnnya dengan anak. Anak adalah gambaran atau cerminan orangtuanya. Dengan melihat seorang anak, kita mendapat gambaran seperti apa orangtuanya. Anak merefleksikan siapa orangtua mereka. Mengapa? Karena orangtua  adalah role models (panutan) bagi anak-anak mereka. Orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak.  Sejak dalam kandungan hingga usia tertentu anak selalu bersama dengan orangtuanya.

Anak adalah individu yang masih dalam proses perkembangan. Perkembangan anak dalam segala aspek sangat dipengaruhi oleh apa yang ia pelajari melalui panca indranya. Dalam teori belajar ada yang disebut dengan gaya belajar visual dan gaya belajar audiotori. Gaya belajar visual adalah gaya belajar dimana orang belajar dengan mengandalkan penglihatannya, sedangkan gaya belajar audiotori adalah gaya belajar dimana orang mampu belajar dengan baik dengan mengandalkan pendengarannya. Anak-anak dapat belajar optimal dengan menggunakan penglihatan dan pendengarannya.

Apa yang diperlihatkan oleh orangtuanya melalui perkataan dan perilaku mereka, itulah yang ditangkap oleh anak-anak. Dari orangtuanyalah anak-anak belajar. Anak-anak adalah “mesin fotocopy” tercanggih di dunia. Ia akan mengcopy dengan sempurna apa yang ia dengar dan ia lihat dari orangtuanya. Anak juga dapat diibaratkan seperti spon pencuci piring yang mengisap sabun dengan sempurna tanpa memilih-milih merek sabun. Otak anak sedang dalam proses perkembangan, sehingga kemampuan anak untuk melakukan filter atau seleksi terhadap apa yang perlu “diisap” masih sangat terbatas. Itulah sebabnya keteladanan orangtua sangat diperlukan dalam membangun karakter anak. Keteladanan bukan sekedar kata-kata atau perintah, tetapi memberi contoh konkrit agar anak dapat meniru yang baik dengan baik dari orangtuanya. Selain itu, keteladanan yang baik dari orangtua akan membuat anak merasa bangga. Keteladan “menasehati” lebih efektif dari pada hanya berkata-kata.

Apabila orangtua tidak dapat menjadi panutan yang baik bagi anak, maka anak akan mengalami kebingungan. Hal yang paling membingungkan dan dapat menyesatkan anak adalah jika apa yang diajarkan padanya tidak sesuai dengan apa yang ia lihat dan dengar. Jika anak melihat bahwa yang diajarkan dan yang diharapkan oleh orangtuanya darinya tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan, maka dapat menimbulkan emosi negatif pada anak. Anak dapat menjadi  memiliki penilaian yang buruk dan tidak respek kepada orangtua, serta menjadi kecewa. Kekecewaan akan membuatnya frustasi dan tidak mau taat kepada didikan orangtuanya. Selain itu, jika orangtua tidak dapat menjadi teladan, anak akan menggugat. Agar dalam diri anak terbangun karakter yang baik, maka orangtua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Keteladanan yang baik dari orangtua akan membuat anak merasa bangga.

Keteladan “menasehati” lebih efektif dari pada hanya berkata-kata. Oleh karena itu, orangtua harus dapat menjadikan dirinya sebagai panutan yang ideal bagi anak. Misalnya: jika orangtua menginginkan anak-anaknya berkarakter jujur, maka orangtua terlebih dahulu  harus memastikan dirinya jujur.

Menjadi Role Models dalam Ketangguhan

“Aduhhh, anak sekarang beda dengan anak zaman dulu. Ga sabaran. Semuanya mau cepat. Begitu minta, maunya langsung dikasih. Ga bisa nunggu. Maunya dapat dengan mudah. Dulu, kalau saya mau mainan, ya mesti nyeleng dulu. Dulu, sebelum berangkat sekolah saya mesti bantu ibu saya bikin sarapan. Anak sekarang mah boro-boro.”

Begitulah kondisi banyak anak yang dikeluhkan banyak orang terutama para caregivers termasuk orangtua. Anak-anak zaman sekarang dinilai tidak tahan “banting”, mudah menyerah dan tidak sabar. Mereka dianggap mudah mengeluh dan mau serba instan. Hal-hal seperti ini tentu tidak baik. Hanya orang yang memiliki daya juang dan daya resiliensi yang baik yang dapat bertahan hidup dan berprestasi. Tahan menderita dalam arti memiliki daya lentur yang baik dan memiliki tingkat kesabaran yang baik merupakan soft skill yang harus dimiliki oleh setiap individu.  Soft skill adalah sifat dan perilaku individu yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya individu dalam kehidupannya. Bukan saja dalam studi dan karir, tetapi juga dalam relasi sosial dan kehidupan berumah tangga. Kesabaran dan kemampuan bertahan dalam “penderitaan”  adalah soft skill yang harus dilatihkan kepada anak sejak dini agar kelak ia dapat menjadi individu yang tangguh.

Orangtua harus dapat menjadi teladan dalam hal “ketangguhan” bagi anak-anaknya. Jangan suka mengeluh, jangan gampang bersungut-sungut! Bersabarlah dalam masa sulit atau penderitaan! Dengan demikian anak akan belajar bagaimana menjadi pribadi yang tangguh.

Menjadi Role Models dalam Berbuat Baik

Perbuatan mengajar lebih banyak dari pada perkataan. Dengan melihat perbuatan baik orangtua yang layak diteladani, anak belajar hal yang sangat penting. Misalnya: hari itu, seorang ibu datang ke rumah Johan. Ternyata, ibu tersebut datang meminta pertolongan. Beliau tidak punya uang sedangkan di rumah mereka tidak ada beras untuk dimasak. Tanpa banyak bicara, ibu Johan memberikan kepada ibu tersebut beras. Selain itu, ibu Johan juga memberikan sayur-sayuran, lauk, minyak goreng, dan bumbu-bumbu masak yang diperlukan. Ternyata, Johan memerhatikan apa yang dilakukan oleh ibunya. Di sekolah, saat ada temannya tidak membawa bekal, Johan tidak segan membagi bekalnya kepada temannya yang tidak membawa bekal tersebut. Padahal, orangtua Johan tidak pernah berpesan apa pun tentang hal tersebut. Mengapa ini terjadi? Karena keteladanan yang ditunjukkan oleh ibu Johan “berbicara” dengan sangat tegas dan  jelas. Itulah yang membuat Johan paham makna berbuat baik dan dengan rela hati berbagi bekal dengan temannya yang tidak membawa bekal. Orangtua yang suka berbuat baik akan lebih mudah mengajarkan anak-anaknya untuk berbuat baik dibanding dengan orangtua yang tidak suka berbuat baik.

Menjadi Role Models dalam Perkataan

Orangtua harus dapat menjaga perkataannya. Tidak boleh sembrono dalam berkata-kata. Tidak boleh pelit memberi pujian. Jangan pernah memberilan label negatif dan stigma, dan sama sekali tidak dibenarkan memaki atau berkata kotor kepada siapa pun! Kata-kata kotor yang ditujukan kepada anak akan mencederai hati anak dan dapat membuatnya mengalami gangguan psikologis serius, seperti menjadi pemurung, penakut, tidak percaya diri,  rendah diri, pemarah, tertekan dan depresi. Selain itu, akan membuat anak meniru. Ia akan menjadi suka berbicara kotor seperti orangtuanya. Jika anak suka berbicara kotor, maka ia akan mengalami banyak masalah, terutama di luar rumah, misalnya di sekolah. Ia akan dijauhi bahkan dimusuhi oleh anak-anak lain karena dinilai berperilaku tidak baik.

Kata-kata yang tidak sehat akan menjadi racun (toxic) yang mematikan bagi anak. Akibatnya anak menjadi sedih, terluka secara psikologis, menderita, kecewa, marah, atau dendam. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak mudah memang mengendalikan perkataan. Itulah sebabnya para orangtua harus berpikir dengan baik sebelum berkata-kata.

Menjadi Role Models dalam Mengelola Emosi

Mengelola emosi adalah keterampilan yang sangat penting dikuasai oleh anak sejak dini karena akan mempengaruhi status kesehatan mental; pendidikan dan prestasi akademik; hubungan dengan orang lain; dan citra diri anak. Mengelola emosi bukan keterampilan yang mudah. Karena otak anak sedang dalam proses perkembangan, maka  anak belum terampil mengelola emosinyanya. Itulah sebabnya anak perlu dilatih mengelola emosi. Cara belajar yang paling efektif bagi anak dalam mengelola emosi adalah meniru orangtuanya dalam mengelola emosi.

Posting Komentar