Minggu, 28 Juli 2024

ORANGTUA SEBAGAI ROLE MODELS (PANUTAN) DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK

ORANGTUA SEBAGAI ROLE MODELS (PANUTAN) DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK

Orang Barat bilang: “like father like son”, “like mother like daughter”, “like parents like child”.  Dalam bahasa Indonesia ungkapan ini dimaknai sama dengan ungkapan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Sampai saat ini saya masih setuju dengan ungkapan ini karena masih relevan. Pada umumnya, buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. Hanya pada kasus-kasus tertentu saja buah jatuh jauh dari pohonnya. Misalnya, pada saat ada badai atau angin sangat kencang, besar kemungkinan buah jatuh jauh dari pohonnya karena diterbangkan oleh angin. Atau, jika pohon tumbuh di pinggir jurang, besar kemungkinan buahnya akan jatuh dari pohonnya karena tergelinding ke dasar jurang. Tetapi sekali lagi, pada umumnya buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Pun demikian halnnya dengan anak. Anak adalah gambaran atau cerminan orangtuanya. Dengan melihat seorang anak, kita mendapat gambaran seperti apa orangtuanya. Anak merefleksikan siapa orangtua mereka. Mengapa? Karena orangtua  adalah role models (panutan) bagi anak-anak mereka. Orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak.  Sejak dalam kandungan hingga usia tertentu anak selalu bersama dengan orangtuanya.

Anak adalah individu yang masih dalam proses perkembangan. Perkembangan anak dalam segala aspek sangat dipengaruhi oleh apa yang ia pelajari melalui panca indranya. Dalam teori belajar ada yang disebut dengan gaya belajar visual dan gaya belajar audiotori. Gaya belajar visual adalah gaya belajar dimana orang belajar dengan mengandalkan penglihatannya, sedangkan gaya belajar audiotori adalah gaya belajar dimana orang mampu belajar dengan baik dengan mengandalkan pendengarannya. Anak-anak dapat belajar optimal dengan menggunakan penglihatan dan pendengarannya.

Apa yang diperlihatkan oleh orangtuanya melalui perkataan dan perilaku mereka, itulah yang ditangkap oleh anak-anak. Dari orangtuanyalah anak-anak belajar. Anak-anak adalah “mesin fotocopy” tercanggih di dunia. Ia akan mengcopy dengan sempurna apa yang ia dengar dan ia lihat dari orangtuanya. Anak juga dapat diibaratkan seperti spon pencuci piring yang mengisap sabun dengan sempurna tanpa memilih-milih merek sabun. Otak anak sedang dalam proses perkembangan, sehingga kemampuan anak untuk melakukan filter atau seleksi terhadap apa yang perlu “diisap” masih sangat terbatas. Itulah sebabnya keteladanan orangtua sangat diperlukan dalam membangun karakter anak. Keteladanan bukan sekedar kata-kata atau perintah, tetapi memberi contoh konkrit agar anak dapat meniru yang baik dengan baik dari orangtuanya. Selain itu, keteladanan yang baik dari orangtua akan membuat anak merasa bangga. Keteladan “menasehati” lebih efektif dari pada hanya berkata-kata.

Apabila orangtua tidak dapat menjadi panutan yang baik bagi anak, maka anak akan mengalami kebingungan. Hal yang paling membingungkan dan dapat menyesatkan anak adalah jika apa yang diajarkan padanya tidak sesuai dengan apa yang ia lihat dan dengar. Jika anak melihat bahwa yang diajarkan dan yang diharapkan oleh orangtuanya darinya tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan, maka dapat menimbulkan emosi negatif pada anak. Anak dapat menjadi  memiliki penilaian yang buruk dan tidak respek kepada orangtua, serta menjadi kecewa. Kekecewaan akan membuatnya frustasi dan tidak mau taat kepada didikan orangtuanya. Selain itu, jika orangtua tidak dapat menjadi teladan, anak akan menggugat. Agar dalam diri anak terbangun karakter yang baik, maka orangtua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Keteladanan yang baik dari orangtua akan membuat anak merasa bangga.

Keteladan “menasehati” lebih efektif dari pada hanya berkata-kata. Oleh karena itu, orangtua harus dapat menjadikan dirinya sebagai panutan yang ideal bagi anak. Misalnya: jika orangtua menginginkan anak-anaknya berkarakter jujur, maka orangtua terlebih dahulu  harus memastikan dirinya jujur.

Menjadi Role Models dalam Ketangguhan

“Aduhhh, anak sekarang beda dengan anak zaman dulu. Ga sabaran. Semuanya mau cepat. Begitu minta, maunya langsung dikasih. Ga bisa nunggu. Maunya dapat dengan mudah. Dulu, kalau saya mau mainan, ya mesti nyeleng dulu. Dulu, sebelum berangkat sekolah saya mesti bantu ibu saya bikin sarapan. Anak sekarang mah boro-boro.”

Begitulah kondisi banyak anak yang dikeluhkan banyak orang terutama para caregivers termasuk orangtua. Anak-anak zaman sekarang dinilai tidak tahan “banting”, mudah menyerah dan tidak sabar. Mereka dianggap mudah mengeluh dan mau serba instan. Hal-hal seperti ini tentu tidak baik. Hanya orang yang memiliki daya juang dan daya resiliensi yang baik yang dapat bertahan hidup dan berprestasi. Tahan menderita dalam arti memiliki daya lentur yang baik dan memiliki tingkat kesabaran yang baik merupakan soft skill yang harus dimiliki oleh setiap individu.  Soft skill adalah sifat dan perilaku individu yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya individu dalam kehidupannya. Bukan saja dalam studi dan karir, tetapi juga dalam relasi sosial dan kehidupan berumah tangga. Kesabaran dan kemampuan bertahan dalam “penderitaan”  adalah soft skill yang harus dilatihkan kepada anak sejak dini agar kelak ia dapat menjadi individu yang tangguh.

Orangtua harus dapat menjadi teladan dalam hal “ketangguhan” bagi anak-anaknya. Jangan suka mengeluh, jangan gampang bersungut-sungut! Bersabarlah dalam masa sulit atau penderitaan! Dengan demikian anak akan belajar bagaimana menjadi pribadi yang tangguh.

Menjadi Role Models dalam Berbuat Baik

Perbuatan mengajar lebih banyak dari pada perkataan. Dengan melihat perbuatan baik orangtua yang layak diteladani, anak belajar hal yang sangat penting. Misalnya: hari itu, seorang ibu datang ke rumah Johan. Ternyata, ibu tersebut datang meminta pertolongan. Beliau tidak punya uang sedangkan di rumah mereka tidak ada beras untuk dimasak. Tanpa banyak bicara, ibu Johan memberikan kepada ibu tersebut beras. Selain itu, ibu Johan juga memberikan sayur-sayuran, lauk, minyak goreng, dan bumbu-bumbu masak yang diperlukan. Ternyata, Johan memerhatikan apa yang dilakukan oleh ibunya. Di sekolah, saat ada temannya tidak membawa bekal, Johan tidak segan membagi bekalnya kepada temannya yang tidak membawa bekal tersebut. Padahal, orangtua Johan tidak pernah berpesan apa pun tentang hal tersebut. Mengapa ini terjadi? Karena keteladanan yang ditunjukkan oleh ibu Johan “berbicara” dengan sangat tegas dan  jelas. Itulah yang membuat Johan paham makna berbuat baik dan dengan rela hati berbagi bekal dengan temannya yang tidak membawa bekal. Orangtua yang suka berbuat baik akan lebih mudah mengajarkan anak-anaknya untuk berbuat baik dibanding dengan orangtua yang tidak suka berbuat baik.

Menjadi Role Models dalam Perkataan

Orangtua harus dapat menjaga perkataannya. Tidak boleh sembrono dalam berkata-kata. Tidak boleh pelit memberi pujian. Jangan pernah memberilan label negatif dan stigma, dan sama sekali tidak dibenarkan memaki atau berkata kotor kepada siapa pun! Kata-kata kotor yang ditujukan kepada anak akan mencederai hati anak dan dapat membuatnya mengalami gangguan psikologis serius, seperti menjadi pemurung, penakut, tidak percaya diri,  rendah diri, pemarah, tertekan dan depresi. Selain itu, akan membuat anak meniru. Ia akan menjadi suka berbicara kotor seperti orangtuanya. Jika anak suka berbicara kotor, maka ia akan mengalami banyak masalah, terutama di luar rumah, misalnya di sekolah. Ia akan dijauhi bahkan dimusuhi oleh anak-anak lain karena dinilai berperilaku tidak baik.

Kata-kata yang tidak sehat akan menjadi racun (toxic) yang mematikan bagi anak. Akibatnya anak menjadi sedih, terluka secara psikologis, menderita, kecewa, marah, atau dendam. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak mudah memang mengendalikan perkataan. Itulah sebabnya para orangtua harus berpikir dengan baik sebelum berkata-kata.

Menjadi Role Models dalam Mengelola Emosi

Mengelola emosi adalah keterampilan yang sangat penting dikuasai oleh anak sejak dini karena akan mempengaruhi status kesehatan mental; pendidikan dan prestasi akademik; hubungan dengan orang lain; dan citra diri anak. Mengelola emosi bukan keterampilan yang mudah. Karena otak anak sedang dalam proses perkembangan, maka  anak belum terampil mengelola emosinyanya. Itulah sebabnya anak perlu dilatih mengelola emosi. Cara belajar yang paling efektif bagi anak dalam mengelola emosi adalah meniru orangtuanya dalam mengelola emosi.

Jumat, 19 Juli 2024

Literasi Digital untuk Remaja : Smart Teenager, Smart Gadgets

Literasi Digital untuk Remaja : Smart Teenager, Smart Gadgets

Remaja merupakan masa transisi. Disebut transisi karena adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana terjadi pertumbuhan signifikan baik fisik, alat reproduksi, hormon, otak sehingga memengaruhi perkembangan kognisi, emosi, komunikasi dan relasi sosial. Terjadi perbedaan masa remaja yang dialami remaja dulu dengan remaja masa kini. Remaja masa kini hidup dalam kemajuan teknologi khususnya internet yang sangat pesat. Remaja masa kini adalah remaja yang hidup dengan internet. Mereka bergaul akrab dengan gadget.

Kemajuan ini tentunya banyak membawa pengaruh kepada remaja. Kemajuan internet selain membawa dampak positif namun membawa dampak negatif. Selain mendengar kabar tentang hebatnya prestasi yang diukir remaja saat ini namun banyak pula kabar tidak enak yang diberitakan tentang remaja yang bermasalah akibat tidak cerdas dalam bergadget. Remaja bukan saja sebagai generasi penerus bangsa, juga merupakan penerus kaum dan keluarga yang tentunya diharapkan menjadi suatu kebanggaan.

Untuk menyelamatkan masa depan remaja sebagai generasi penerus, mereka perlu diedukasi secara intensif untuk meningkatkan pemahaman mereka secara komprehensif baik dalam hal tanggung jawab, tugas dan peran mereka. Salah satu bentuk edukasi yang perlu diberikan kepada remaja adalah literasi digital yakni pengetahuan dan kecakapan pengguna memanfaatkan internet dalam bermedia digital (bergadget).

Kamis, 18 Juli 2024

MENGAJAR ANAK BERTANGGUNG JAWAB

MENGAJAR ANAK BERTANGGUNG JAWAB

Dalam dunia ini banyak terjadi kekacauan karena banyak orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu di level berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan dalam kehidupan keluarga. Banyak juga orang yang hidupnya menjadi berantakan karena tidak bertanggung jawab. Ia tidak bertanggung jawab sebagai seorang pelajar, tidak bertanggung jawab sebagai seorang anak, tidak bertanggung jawab sebagai seorang karyawan, tidak bertanggung jawab sebagai orangtua, tidak bertanggung jawab sebagai seorang istri/suami, dan lain sebagainya. Padahal, setiap orang, di sepanjang hidupnya,  memiliki berbagai peran, dan dalam setiap peran itu ada tanggung jawab.

Menjadi orang yang bertanggung jawab bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil dari suatu proses pembelajaran kehidupan yang tidak pendek dan sering tidak menyenangkan. Banyak orang yang tidak mau berproses sehingga menjauh dari proses tersebut. Akibatnya, mereka menjadi individu yang tidak bertanggung jawab. Perilaku tidak bertanggung jawab sudah pasti merugikan diri sendiri dan orang lain. Orang yang bertanggung jawab sangat dibutuhkan di mana pun. Bertanggung jawab merupakan salah satu bentuk kecerdasan dan soft skill.   Itulah sebabnya, dalam merekrut Sumber Daya Manusia (SDM), perusahaan, lembaga pemerintahan, atau organisasi sosial kemasyarakatan menjadikan “bertanggung jawab” sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang.  Selain itu, dalam kehidupan pribadi, seseorang sudah pasti menginginkan pasangan, rekan kerja atau sahabat yang bertanggung jawab.

Karena menjadi bertanggung jawab bukan bawaan lahir melainkan proses pembelajaran kehidupan, maka individu harus diajar untuk bertanggung jawab sedari dini. Anak harus dibantu agar dapat  memahami tanggung jawab sebagai sesuatu yang indah, mulia, menyenangkan dan bermanfaat. Dengan demikian, anak akan suka dengan “pelajaran” tanggung jawab. Jika sedari dini anak sudah diajar bertanggung jawab, ia akan bertumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab, sehingga hidupnya beruntung dan berguna bagi banyak orang. Bertanggung jawab adalah kunci keberhasilan anak, baik di sekolah maupun di dunia yang lebih besar ketika mereka tumbuh dewasa.

Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan guna meIatih anak bertanggung jawab.

Membiasakan Anak Merapikan Sendiri Mainannya

Bermain adalah kesenangan sekaligus kebutuhan anak. Itulah sebabnya, bermain sangat melekat dengan kehidupan anak. Dalam bermain, anak sering menggunakan mainan, misalnya boneka, mobil-mobilan dan lain-lain. Kesempatan ini dapat dipakai untuk melatih anak bertanggung jawab. Misalnya: anak harus merapikan semua mainannya setelah selesai bermain. Anak balita sudah dapat mengerjakan hal ini.

Membuat Kesepakatan dengan Anak

Walaupun masih kecil, bahkan balita, anak sudah dapat diajak untuk bersepakat. Misalnya: bersepakat apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab anak. Misalnya: sepakat bahwa setelah selesai bermain, anak harus merapikan mainannya; setelah bermain di luar rumah, anak harus merapikan sepatu atau sandalnya di rak; setelah selesai menggunakan suatu barang (misalnya gunting), maka anak harus mengembalikan barang itu ke tempatnya semula. Kesepakatan dengan anak bukan berarti membuat orangtua menjadi sangat permisif dengan anak, tetapi untuk menumbuhkembangkan partisipasi anak. Dengan demikian, anak akan bertanggung jawab karena sudah sepakat.

Menanamkan kepada Anak bahwa menjadi Bertanggung Jawab Menguntungkan Dirinya

Anak harus dibantu memahami bahwa bertanggung jawab sangat menguntungkan dirinya sendiri. Perilaku bertanggung jawab pada anak akan membawanya pada kebaikan dan keberuntungan. Contoh: Jika anak bertanggung jawab atas tugas-tugas sekolahnya, maka ia AKAN mendapat nilai yang baik, menjadi tambah pintar, dan disukai guru. Hal ini tentu baik bagi anak. Jika anak tambah pintar, maka anak akan beruntung. Tidak menunda-nunda mengerjakan tugas di rumah membuat anak leluasa bermain karena tugasnya sudah selesai.

Melibatkan Anak dalam Pekerjaan di Rumah

Di rumah ada banyak pekerjaan dimana anak dapat dilibatkan untuk bertanggung jawab menyelesaikannya. Misalnya: Anak usia empat atau lima tahun bertugas merapikan sandal dan sepatu yang berantakan di rak; anak kelas 1-3 SD bertugas mengantarkan piring kotor bekas makan ke tempat mencuci piring; anak kelas 4-6 SD bertugas mencuci piring, menyapu rumah, melipat pakaian, membersihkan meja, menyapu halaman, menyiram tanaman, dan lain-lain; anak SMP bertugas membantu ibu memasak; mencuci pakaian; mengepel; dan lain-lain.

Melatih Anak Membuat Daftar Tugas Sekolah

Dalam perannya sebagai pelajar, anak harus dilatih untuk bertanggung jawab. Dapat dimulai dengan mengajar anak membuat daftar tugas sekolahnya. Misalnya: mengerjakan PR; menyiapkan buku, perlengkapan belajar, pakaian seragam, sepatu dan kaos kaki; dan barang-barang lain yang dibutuhkan pada malam hari. Anak harus dilatih untuk bertanggung jawab menyiapkan semua kebutuhannya ini.

Melatih Anak untuk Mengerjakan Sendiri Tugas-tugasnya

Apa yang menjadi tugas anak adalah tanggung jawab anak. Anak harus dibantu untuk memahami hal ini. Misalnya: biarkan anak mengerjakan sendiri PRnya. Membiarkan anak mengerjakan sendiri PR atau tugas-tugasnya yang lain bukan berarti mengabaikan atau tidak perduli dengan anak. Dalam hal ini orangtua bertugas membimbing, mengarahkan, dan mendampingi. Dengan demikian, orangtua akan tahu persis apakah anak mampu mengerjakan tugas-tugasnya, apa yang dibutuhkan anak, hambatan apa yang dialami anak dan bagaimana kondisi anak, sehingga tahu apakah anak perlu dibantu, dan bantuan seperti apa yang dibutuhkan anak.

Mengajarkan kepada Anak tentang Menepati Janji atau Perkataannya Sendiri

Orang yang bertanggung jawab akan menepati kata-kata atau janjinya sendiri. Hal ini harus ditanamkan pada anak. Misalnya: anak berjanji main games hanya selama 15 menit, dan setelah itu anak akan tidur siang. Maka, setelah bermain games selama 15 menit, anak harus berhenti dan langsung tidur siang.

Mengajarkan kepada Anak tentang Konsekuensi

Semua hal mengandung konsekuensi, termasuk jika tidak bertanggung jawab. Misalnya: jika anak tidak bertanggung jawab atas tugas-tugasnya, maka ada konsekuensi, ia akan ditegur oleh guru, mendapat nilai jelek, atau mendapatkan tugas yang lebih banyak dan berat. Konsekuensi juga berarti harus mengganti barang orang lain yang anak hilangkan atau rusakkan. Jika anak menghilangkan atau merusak barang orang lain (misalnya mainan temannya yang ia pinjam), maka anak bertanggung jawab untuk mengganti. Misalnya: mengganti dengan uang tabungannya. Selain belajar bertanggung jawab, dari kejadian ini anak akan berlajar berhati-hati menggunakan barang orang lain.

Tidak Langsung Marah ketika Anak Berbuat Kesalahan

Kesalahan yang dilakukan oleh anak dapat dipandang sebagai proses belajar. Misalnya: sambil minum susu anak melompat-lompat. Padahal, ibu sudah melarang. Akibatnya, susu tumpah dan mengotori  pakaiannya. Daripada memarahi apalagi memukul anak, pakai saja kesempatan itu untuk mendidik anak, berpikir dan bertanggung jawab. Minta anak untuk membersihkan lantai, berganti pakaian, dan menaruh pakaiannya yang kotor ke dalam keranjang pakaian kotor. Anak juga dapat diajak berpikir apa akibat dari perbuatannya, misalnya: susu terbuang, padahal, harga susu tidak murah dan anak membutuhkan susu untuk kesehatan dan pertumbuhannya.

Menghindari Label Negatif, Makian dan Ancaman

Ada kalanya orangtua terstimulasi menjadi marah ketika anak tidak bertanggung jawab, misalnya: ketika anak tidak membuat PR sehingga orangtua mendapat surat teguran dari guru. Orangtua marah karena anak abai dengan tanggung jawabnya adalah hal yang dapat dipahami, tetapi memberi label negatif, makian, dan ancaman harus dihindari. Label negatif, makian dan ancaman seperti “pemalas”, “bodoh”, “dasar tidak punya tanggung jawab”, “awas ya, kalau kamu tidak mengerjakan PR, nanti mama pukul” dapat membuat anak menjadi sedih, frustasi, marah, benci, dendam, atau tambah tidak perduli. Lebih baik ajak anak bicara dan diskusi tentang mengapa ia tidak mengerjakan PR. Apakah lupa, PR itu terlalu sulit bagi anak, dan lain-lain? Selain itu, buat anak menyadari konsekuensinya. Sering mendapat label negatif, makian dan ancaman berdampak buruk bagi perkembangan anak.

Tidak “Menyogok”

Ada kalanya anak sulit bertanggung jawab sehingga perlu didorong. Akan tetapi, jangan sampai dorongan menjadi sogokan. Contoh: “kalau kamu cuci piring, mama kasih uang  seratus ribu.” Hal ini berbahaya bagi perkembangan anak. Kalau pun ia mau mencuci piring, bukan karena ia memahami mencuci piring adalah tugasnya dan ia harus bertanggung jawab, tetapi demi mendapatkan uang. Bahkan, cara ini akan membuatnya menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.

Mengapresiasi Perilaku Bertanggung Jawab Anak

Apresiasi terhadap perilaku bertanggung jawab anak dapat membuat anak terdorong untuk semakin bertanggung jawab. Akan tetapi, apresiasi harus diberikan dengan wajar dan sehat. Apresiasi yang berlebihan harus dihindari karena dapat membuat anak menjadi berorientasi terhadap apresiasi.

Mengajari Anak untuk Bertanggung Jawab atas Perilakunya terhadap Orang Lain

Anak adalah individu yang sedang berkembang dalam aspek sosial. Ia belajar mengenal dan berelasi dengan orang lain. Itu dimulai dari relasinya dengan keluarganya. Dalam proses berelasi tersebut, akan terjadi berbagai dinamika, misalnya: anak berselisih paham dengan adiknya. Walaupun demikian, menyakiti orang lain, baik dalam bentuk kata-kata maupun fisik (misalnya memukul) tidak dibenarkan. Contoh: anak memukul adiknya karena kesal adiknya mengganggunya. Daripada memarahi atau memukul anak, lebih baik anak dibantu untuk memahami situasi. Misalnya: pukulannya membuat adiknya sakit. Selain itu, ini akan membuat adik menjadi takut bermain dan tidak mau bermain dengannya. Jika anak menyadari kesalahannya, maka dengan mudah ia dapat dibimbing untuk meminta maaf. Artinya, anak diajar untuk bertanggung jawab menjaga dan memperbaiki relasinya dengan orang lain.

Menjadi Role Model bagi Anak

Cara efektif mengajar anak bertanggung jawab adalah dengan menjadi teladan (role model) yang baik. Misalnya: jika orangtua berjanji kepada anak, maka orangtua harus menepati janji itu. Keteladan orangtua membuat anak hormat kepada orangtua dan membuat anak paham bahwa bertanggung jawab adalah kewajiban.

Rabu, 10 Juli 2024

MELINDUNGI ANAK DARI BENCANA PORNOGRAFI

MELINDUNGI ANAK DARI BENCANA PORNOGRAFI

Jumlah anak yang terpapar pornografi semakin banyak. Salah satu penyebabnya adalah ketidakcerdasan dalam menggunakan gawai. Kelekatan anak dengan gawai tak bisa dihindari, terutama saat dan pasca Covid 19. Di era ini hidup manusia, termasuk anak-anak, dimudahkan dengan adanya kemajuan teknologi digital. Akan tetapi, digital yang identik dengan internet tersebut jika tidak digunakan dengan bijaksana akan membawa banyak  malapetaka. Misalnya: anak menjadi terpapar pornografi, bahkan menjadi adiksi terhadap pornografi. Hasil riset menunjukkan bahwa adiksi pornografi pada anak dapat menimbulkan kerusakan serius pada otak anak. Kerusakan otak ini tentu tak bisa dianggap enteng karena menimbulkan efek negatif pada perilaku dan emosi anak, serta merusak kehidupan anak.

Saat ini, terpaparnya anak dengan pornografi sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Akibat terpapar pornografi, banyak anak yang mengalami adiksi terhadap pornografi, adiksi terhadap seks, dan terjebak dalam hubungan seks bebas. Hubungan seks bebas mengakibatkan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan yang tidak diinginkan). Kondisi ini tentu sangat berbahaya karena dapat mengancam kesehatan dan keselamatan anak. Selain itu, dapat mengakibatkan persoalan yang lebih besar. Oleh karena itu, setiap anak harus dilindungi dari bencana pornografi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam Pasal (1) Ayat (1) menyebutkan: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”  Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa pornografi tidak hanya yang  disajikan melalui teknologi digital, tetapi juga dalam bentuk konvensional. Dalam undang-undang yang sama tepatnya pada Pasal (15) dikatakan: “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.” Hal ini ditegaskan juga dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (67A) yang berbunyi: “Setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi.” Jadi, harus dipikirkan dan diupayakan bagaimana caranya agar anak terlindungi dari pornografi, baik itu pornografi yang konvensional, maupun yang tersaji melalui media digital. Ini bukan hanya kewajiban orangtua saja, tetapi kewajiban setiap orang.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan orangtua guna melindungi anak dari bencana pornografi, antara lain: memberikan pendidikan karakter dan menanamkan budi pekerti kepada anak sedari dini; memberikan pendidikan literasi digital kepada anak; memberikan pendidikan hukum kepada anak; menjadi teladan bagi anak dalam berdigital; menjalin komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak; menjawab pertanyaan anak; mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang menyebabkan anak terpapar pornografi; memastikan gawai pribadi steril dari pornografi; dan menjaga hubungan intim suami istri hanya untuk suami istri.

Memberikan Pendidikan Karakter dan Menanamkan Budi Pekerti kepada Anak sedari Dini

Pendidikan  karakter dan penanaman budi pekerti kepada anak sedari dini menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Jika anak memiliki karakter dan budi pekerti yang baik, maka ia tidak akan menjadi konsumen pornografi. Ia akan menghindari paparan pornografi karena ia tahu hal tesebut tidak baik. Ia pun akan memiliki tanggung jawab moral terhadap sesama sehingga ia tidak akan membawa teman-temannya jatuh dalam pornografi.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (26) Ayat (1) Huruf (d) tertulis: “Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.” Undang-undang yang sama di Pasal (19) mengatakan: “ Setiap anak berkewajiban untuk: (1) menghormati orang tua, wali, dan guru; (2) mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; (3) mencintai tanah air, bangsa, dan negara; (4) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan (5) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.” Dari apa yang tertulis dalam pasal-pasal tersebut, jelas terlihat bahwa negara mewajibkan orangtua untuk memberikan pendidikan karakter dan menamkan nilai budi pekerti kepada anak. Negara juga memberikan kewajiban kepada anak untuk melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak adalah upaya melindungi anak dari bencana pornografi.

Memberikan Pendidikan Literasi Digital kepada Anak

Digital sudah menjadi kebutuhan anak sehingga tidak dapat dihindari. Akan tetapi, karena penyalahgunaan digital dampaknya sangat berbahaya, maka anak harus diberikan pendidikan literasi digital sebelum mereka menjadi pengguna atau konsumen digital. Pendidikan literasi digital terkait dengan  bagaimana berdigital yang aman dan benar; kapan waktu berdigital; berapa lama durasinya; apa yang boleh dilakukan anak saat berdigital; apa yang tidak boleh dilakukan; dan lain sebagainya. Jika anak cerdas berdigital, maka ia akan terlindungi dari pornografi.

Memberikan Pendidikan Hukum kepada Anak

Segala sesuatu memiliki konsekuensi hukum, termasuk berdigital. Oleh karena itu, pendidikan hukum penting diberikan anak. Misalnya; apa akibat hukumnya jika mengirim gambar/foto/video porno kepada teman, baik secara individual maupun melalui media sosial seperti WA grup. Banyak anak yang  tidak paham bahwa mengirimkan gambar atau video porno kepada teman adalah perbuatan yang melanggar hukum sehingga ada sanksi hukum yang tegas dan jelas bagi pelaku. Memberikan pendidikan hukum kepada anak tidak harus dengan cara sekolah hukum. Saat ini, sumber belajar hukum sangat banyak. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah mengajarkan anak untuk taat kepada hukum yang ada di rumahnya. Jika anak sudah terampil taat kepada hukum yang ada di rumahnya, maka hal ini akan memudahkan anak taat kepada hukum positif Indonesia. Taat hukum akan menjadi gaya hidupnya.

Menjadi Teladan bagi Anak dalam Berdigital

Anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar. Jika apa yang diajarkan kepadanya tidak sesuai dengan apa yang ia lihat dan dengar, maka akan timbul kebingungan pada anak. Oleh sebab itu, menjadi teladan bagi anak dalam berdigital adalah penting. Jika orangtua dapat memberikan teladan berdigital yang sehat dan cerdas kepada anak, maka anak akan lebih muda berdigital dengan sehat dan cerdas. Dengan demikian, anak akan terhindar dari pornografi.

Menjalin Komunikasi yang Terbuka dan Jujur dengan Anak

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk melindungi anak dari pornografi adalah menjalin komunikasi yang terbuka dan jujur dengan anak. Orangtua harus dapat menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak. Dengan demikian, orangtua akan selalu mengetahui apa yang sedang terjadi dengan anak, apa yang anak rasakan dan apa yang anak pikirkan. Keakraban orangtua dan anak menjadi kunci terhindarnya anak dari pornografi.

Menjawab Pertanyaan Anak

Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek kognitif. Hal ini menyebabkan anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Oleh karena itu, ia  suka bertanya. Apabila tidak dijawab atau jawaban yang diberikan tidak memuaskan anak, maka anak akan penasaran,  dan akan mencari tahu lebih jauh. Misalnya: Anak mendengar berita tentang seorang anak yang disodomi. Kata “sodomi” bukan kata yang sehari-hari didengar oleh anak. Hal ini dapat membuat anak menjadi penasaran dengan arti kata sodomi sehingga ia bertanya kepada orangtuanya. Jika orangtua tidak menjawab pertanyaan ini dengan tepat sesuai dengan kapasitas kognitif anak, maka anak akan menjadi penasaran sehingga sangat mungkin ia melanjutkan mencari tahu jawaban. Bayangkan jika anak mencari tahu jawabannya melalui internet! Sudah pasti sangat berisko. Sangat besar kemungkinan anak terpapar pornografi. Oleh karena itu, orangtua harus mau menjawab pertanyaan anak dengan baik, sesuai dengan usia dan perkembangan anak.

Mengambil Tindakan Tegas terhadap Siapa pun yang Menyebabkan Anak Terpapar Pornografi

Banyak anak terpapar pornografi bukan karena ia dengan sengaja mencari dan mengkonsumsi pornografi tetapi karena sesuatu yang sulit bahkan tak dapat ia hindari. Misalnya: ada orang yang dengan sengaja mengirimkan gambar/video yang berkonten pornografi kepada anak; atau gambar/video berkonten porno itu dikirimkan seseorang kepada grup WA dimana anak menjadi anggota. Oleh karena itu, orangtua harus menolong anak mengatasi hal tersebut. Misalnya: meminta anak berani menegur bahkan memblokir orang tersebut; meminta anak untuk keluar dari grup WA; orangtua menegur dan menasehati si pelaku; orangtua melaporkan hal ini pada guru jika hal tersebut terjadi di grup WA kelas; atau orangtua melaporkan kejadian ini kepada orangtua si pelaku jika si pelaku adalah anak-anak. Tujuannya adalah agar si pelaku yang masih anak-anak itu mendapat didikan dan pendampingan dari orangtuanya. Jika pelaku adalah orang dewasa, selain menegur, orangtua juga dapat melaporkan orang tersebut kepada pihak berwajib.

Memastikan Gawai Pribadi Steril dari Pornografi

Gawai orangtua memang milik orangtua. Akan tetapi, pada umumnya orangtua tidak dapat menghindarkan gawai miliknya dari jangkauan anak-anak. Oleh karena itu, orangtua perlu memastikan gawai miliknya steril dari konten pornografi, baik berupa gambar, video/film, maupun aplikasi. Seringkali yang terjadi adalah: orangtua tidak merasa menyimpan sesuatu yang berkonten pornografi di gawainya dan juga tidak menginstal aplikasi porno. Akan tetapi, ketika anak memakai gawai orangtuanya, misalnya untuk bermain games, tidak sengaja anak menjadi terpapar pornografi. Ternyata, di galeri yang ada pada gawai milik orangtuanya tersebut tersimpan video/ gambar berkonten pornografi yang masuk melalui grup WA dimana orangtua anak menjadi anggota. Jadi, sebelum mengijinkan anak bermain dengan gawai kita, maka kita harus pastikan gawai tersebut bersih.

Menjaga Hubungan Intim Suami Istri hanya untuk Suami Istri

Hubungan intim suami istri seharusnya hanya untuk diketahui dan dinikmati oleh pasangan suami istri. Pasangan suami istri harus dapat menjaga hal tersebut sebagai hanya milik mereka berdua saja. Dalam banyak kasus, anak terpapar pornografi bukan dari media, tetapi dari melihat orangtuanya yang sedang melakukan hubungan intim. Oleh karena itu, orangtua tidak boleh ceroboh. Orangtua harus benar-benar memastikan bahwa segala sesuatu aman sebelum menikmati kemesraan intim suami istri. Selain itu, semua perlengkapan kontrasepsi dan koleksi film/video dewasa yang dimiliki  harus disimpan dengan baik dan aman. Pastikan itu tidak dapat dijangkau oleh anak-anak! Jangan sampai kecerobohan orangtua yang menyebabkan anak terpapar pornografi.

Senin, 08 Juli 2024

BICARA SEKS DENGAN REMAJA

BICARA SEKS DENGAN REMAJA

Masa remaja ditandai dengan pubertas, yakni menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Terjadi banyak perubahan selama masa ini, baik fisik maupun psikis. Remaja perlu memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya saat pubertas. Perubahan hormonal dan biologis yang terjadi dapat menyebabkan remaja tertarik dengan hal-hal yang terkait dengan seks. Oleh karena itu, berbicara secara terbuka dengan remaja tentang seks merupakan hal yang sangat penting. Bicara seks dengan remaja dapat membantu mereka memahami seks dengan benar. Berdiskusi tentang perilaku seks dan konsekuensinya  dapat mendorong remaja untuk berpikir dengan jernih sebelum mengambil suatu pilihan perilaku.

Hasil survei yang dilakukan oleh The National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy menunjukkan bahwa para remaja mengatakan bahwa orangtua mereka memiliki pengaruh terbesar atas keputusan mereka tentang seks, lebih dari teman, saudara kandung, atau media. Sebagian besar remaja juga mengatakan bahwa mereka memiliki pandangan yang sama dengan orangtua mereka tentang seks. Selain itu, mereka juga lebih mudah membuat keputusan untuk menunda hubungan seks jika mereka dapat berbicara secara terbuka dan jujur dengan orangtua mereka (https://www.cdc.gov/healthyyouth/protective/factsheets/talking_teens.htm). Hasil survei ini semakin menguatkan alasan mengapa orangtua sangat penting dan harus berbicara tentang seks dengan anak-anak mereka.

Bicara seks dengan anak bagi banyak orangtua bukanlah hal yang mudah. Banyak orang yang merasa sangat canggung bicara seks. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini, misalnya: faktor budaya yang menganggap tabu bicara soal seks; kurang pemahaman dan pengetahuan tentang seks; malu bicara seks apalagi dengan anak sendiri; atau tidak pernah mendapatkan pendidikan seks sehingga tidak punya gambaran tentang pendidikan seks,

Kesehatan reproduksi, jatuh cinta, berciuman, berpacaran, pornografi, self sexvirtual sex, pelecehan; dan hubungan seksual dapat dijadikan sebagai topik obrolan dengan remaja. Topik percakapan harus dilihat secara komprehensif, baik dari segi kesehatan, psikologi, budaya, norma masyarakat, nilai-nilai agama yang dianut dan hukum.  Orangtua harus peka terhadap peluang dan harus memanfaatkan peluang tersebut dengan baik  untuk memulai percakapan. Peluang itu bisa ada saat sedang mendengarkan lagu populer tentang putusnya hubungan asmara; ada berita viral tentang perilaku seks seseorang; ada undangan seminar untuk anak dari sekolah tentang pendidikan seks atau kesehatan reproduksi; saat memperhatikan binar di mata anak  ketika ia melihat seseorang yang ia sukai; saat menemukan kondom atau alat kontrasepsi lain di laci meja belajar anak; ketika ia “kepergok” sedang melihat video porno atau bermain games porno; saat mendapati atau mengetahui anak melakukan self sex (onani atau masturbasi); dan lain-lain.

Agar pembicaraan terasa nyaman dan bermanfaat bagi remaja, di bawah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua ketika bicara seks dengan remaja, yakni:

Menjadi Pendengar yang Baik dan Setia

Orangtua harus dapat menjadi pendengar yang baik dan setia. Ada orangtua yang kurang mampu menjadi pendengar bagi anak-anak mereka. Ini terjadi karena para orangtua tersebut berfokus dan berorientasi pada bagaimana memberikan arahan, nasihat dan solusi kepada anak mereka. Kemampuan mendengarkan dengan baik terbukti dapat mempererat kualitas suatu hubungan antara orangtua dan anak remajanya. Mendengarkan dengan penuh perhatian menunjukkan bahwa orangtua menghargai anak dan perduli dengan semua hal yang dikatakannya. Hal ini akan membuat remaja merasa nyaman sehingga besar kemungkinan ia akan menjadikan orangtuanya sebagai tempat “curhat”. Dengan demikian, relasi antara orangtua dan anak akan semakin intim dan orangtua akan menjadi mengetahui banyak hal penting yang terjadi pada anak.

Saat ngobrol dengan remaja, dengarkanlah mereka dengan terbuka tanpa menghakimi! Menyela anak ketika ia berbicara atau langsung memberikan komentar apalagi penilaian negatif, dapat membuat anak menjadi marah, malu atau takut. Ini dapat membuatnya merasa tidak nyaman dan mematikan seleranya untuk ngobrol. Sebaliknya, bersikap antusias, terbuka dan jujur tanpa menghakimi dapat membuat remaja merasa nyaman dan percaya. Ia akan menjadikan orangtuanya sebagai tempat bertanya dan meminta nasihat terkait seks. Dengan demikian, orangtua akan dapat membimbing mereka dalam berpikir sehingga mereka mampu memahami sesuatu dengan baik dan mampu mengambil keputusan yang tepat.

Dorong Anak untuk Berbicara

Tidak semua remaja mau dan mampu bicara kepada orangtuanya tentang seks. Rasa malu, tidak biasa “ngobrol” dengan terbuka kepada orangtua, sungkan dan takut bisa menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, orangtua harus dapat mendorong anak untuk berbicara. Saat berbicara dengan anak, hentikan semua kegiatan dan fokus hanya kepada anak dan apa yang ia katakan! Keantusiasan dan keperdulian orangtua yang tampak dari ekpresi wajah, bahasa tubuh dan tarikan nafas dapat meyakinkan anak sehingga ia mau bicara.

Selain itu, memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk berbicara penting dilakukan. Ajukan pertanyaan terbuka, seperti: “Bagaimana perasaan kamu?”;  “Apa yang kamu lakukan saat itu?” dan lain-lain! Hindari pertanyaan tertutup seperti: “Apakah kamu sedih?”, “Apakah kamu suka?” dan pertanyaan tertutup lainnya, yang hanya memerlukan jawaban “iya” atau “tidak”! Pertanyaan tertutup membatasi jawaban anak dan tidak menstimulasi anak untuk bercerita lebih jelas dan detail.

Berbicara dengan Jujur dan Terbuka

Kejujuran dan keterbukaan adalah salah satu kunci keberhasilan komunikasi antara orangtua dan anak. Topik seks memang tidak mudah untuk dipercakapkan oleh dua orang yang berbeda generasi. Akan tetapi, kejujuran dan keterbukaan akan sangat menolong. Bagaimana pun, orangtua sudah pernah ada di posisi anak atau mungkin sudah pernah merasakan apa yang dirasakan dan dialami oleh anak. Misalnya: jika seorang ibu dan anak perempuannya sedang ngobrol tentang berpacaran, maka perlu dipahami bahwa mereka adalah dua orang perempuan. Jadi, berbicara “dari hati ke hati” dan “dari kepala ke kepala”  antara kedua orang perempuan ini adalah hal yang sangat menarik. Yang seorang adalah perempuan dewasa, yang sudah lebih dahulu mengalami hal tersebut dan yang seorang lagi adalah perempuan remaja yang sedang atau akan mengalami hal tersebut. Dengan demikian, sang ibu dapat dengan jujur dan terbuka menceritakan apa yang ia alami dan rasakan ketika jatuh cinta dan berpacaran. Kejujuran dan keterbukaan bukan berarti harus menjatuhkan wibawa dan harga diri seorang ibu di hadapan anak gadisnya, tetapi merupakan pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat bagi proses dan perkembangan hidup selanjutnya. Dari kejujuran dan keterbukaan yang ditunjukkan oleh orangtua, anak akan belajar terbuka dan jujur.

Jelaskan bahwa Seks adalah Hal yang Sehat, Indah dan Penting

Sungkan, malu, atau bahkan tabu bicara soal seks bukan berarti seks itu sesuatu yang kotor dan menjijikan. Seks adalah sesuatu yang sehat, indah dan penting. Orangtua harus dapat menjelaskan hal ini kepada anak! Hubungan seks yang dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab oleh pasangan suami istri adalah hubungan seks yang indah, sehat dan penting. Akan tetapi, hubungan seks yang dilakukan dengan tidak bertanggung jawab dan sembrono oleh orang-orang yang bukan pasangan suami istri adalah hubungan seks yang sangat berisiko.

Tidak Berprasangka

Langsung  berprasangka ketika proses “obroloan” sedang berlangsung dapat membuat konsentrasi terganggu. Hal ini tentu dapat dirasakan oleh anak dan dapat membuat seleranya untuk bicara turun bahkan hilang. Selain itu, berprasangka bukan berarti faktanya memang demikian. Misalnya: Ketika anak bertanya tentang berciuman, bukan berarti ia sudah pernah berciuman atau ingin segera berciuman. Jadi, belajar menahan diri untuk tidak buru-buru berprasangka harus dilakukan. Dari pada buru-buru berprasangka, lebih baik fokus terhadap anak dan apa yang ia ceritakan. Setelah mendengarkannya baik-baik, ajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi apa yang terlintas di pikiran tentang apa yang dikatakan anak. Tentu saja pertanyaan klarifikasi harus disampaikan dengan halus dan tepat sehingga anak tidak merasa dituduh atau dicurigai.

Jangan terlalu Ingin Tahu (Kepo)

Orangtua harus peka terhadap batasan yang diberikan oleh anak. Mengajukan pertanyaan spesifik atau terlalu “mengorek” dapat membuat anak merasa orangtua terlalu ingin tahu (kepo), dihakimi dan tidak nyaman. Akibatnya, anak menjadi ragu untuk berbicara secara terbuka dan jujur. Ketika pertanyaan yang diajukan direspon oleh anak dengan “diam” atau tampak enggan menjawab, lebih baik katakan: “Baik, jika kamu belum mau cerita tidak apa-apa. Papa minta maaf jika pertanyaan papa bikin kamu tidak nyaman.” Katakan hal tersebut dengan santai dan tenang karena memang tidak masalah jika anak belum mau bercerita tentang sesuatu yang ingin diketahui oleh orangtua. Sikap seperti ini dapat menumbuhkan respek anak terhadap orangtua dan malah mendorongnya untuk bercerita.

Sampaikan tentang Nilai-nilai yang Dipegang oleh Keluarga dan Harapan Orangtua kepada Anak

Setiap keluarga mempunyai nilai-nilai tertentu terkait seks dan perilaku seks. Nilai-nilai keluarga  sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dari mana keluarga tersebut berasal dan nilai-nilai agama yang dianut. Penyampaian nilai-nilai keluarga kepada anak bukan bermaksud untuk memaksa anak, tetapi untuk mengajak anak berdiskusi dan berpikir dengan jernih sehingga anak menjadi benar-benar paham. Komunikasikan juga kepada anak apa yang menjadi harapan orangtua kepada anak! Misalnya: orangtua berharap anak tidak melakukan hubungan seks di luar perkawinan, anak tidak menjadi konsumen pornografi dan lain-lain. Penyampaian harapan ini tentu harus dengan alasan yang benar. Orangtua harus benar-benar memastikan bahwa anak benar-benar memahami mengapa orangtua memintanya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait seks. Semua alasan tersebut bukan semata-mata untuk kesenangan orangtua atau untuk menjaga nama baik keluarga, tetapi semata-mata demi kepentingan terbaik anak. Pemahaman akan alasan-alasan tersebut dapat mendorong remaja untuk taat kepada nasihat orangtua.

Hindari “Menguliahi/Menceramahi” Anak

Sumber informasi anak tentang seks bukan hanya orangtua. Guru, teman dan internet dapat memberikan informasi tentang seks kepada anak, terlepas apakah informasi tersebut benar atau tidak, atau, apakah informasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai keluarga atau tidak. Selain itu, remaja adalah individu yang memiliki kemampuan berpikir yang sangat baik. Oleh karena itu, memanfaatkan kemampuan kognitifnya untuk berpikir jernih dengan cara berdiskusi tentang seks lebih tepat dibanding dengan “menguliahi atau menceramahi”nya. Menguliahi atau menceramahi remaja dapat membuatnya merasa bodoh atau merasa diperlakukan seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa dan tidak mampu berpikir dengan baik.

Jangan “Bocor”

Orangtua harus dapat dipercayai oleh remaja. Jika anak mengatakan bahwa “cerita” tersebut hanya untuk ia dan ibunya saja, maka itu artinya ibu tidak boleh menceritakan hal tersebut kepada siapa pun. Jika ketahuan “bocor”, maka ibu akan kehilangan kepercayaan dari anak remajanya. Kemungkinan besar, anak tak mau lagi bercerita kepada ibunya. Selain itu, perilaku “bocor” itu dapat membuat anak merasa marah dan malu sehingga timbul masalah. Misalnya: seorang remaja perempuan mengaku kepada ibunya bahwa ia sudah menonton video porno dan akibatnya ia melakukan masturbasi. Terlepas dari apakah perilaku gadis remaja ini benar atau tidak, apabila informasi ini bocor kepada ayahnya atau saudaranya, maka anak akan merasa sangat malu, marah dan takut. Akibatnya, ia bisa saja menjadi menghindar dari orangtua, saudara dan keluarganya. Apabila dirasa informasi yang diberikan oleh anak kepada ibunya perlu diketahui oleh ayahnya, maka ibu harus dengan pelan-pelan minta izin kepada anak. Harus dijelaskan mengapa ayahnya perlu tahu. Tentu semua demi kepentingan terbaik anak. Pun ketika anak dinilai perlu mendapat bantuan dari profesional (misalnya konselor; psikolog atau dokter), orangtua perlu menjelaskan kepada anak. Anak akan kooperatif dan mau menemui profesional.

Menjelaskan tentang Pornografi

Walaupun pemerintah sudah berupaya menutup akses terhadap situs-situs porno, tetapi remaja bahkan anak yang masih sangat kecil masih dapat dengan mudah terpapar pornografi. Tampaknya pebisnis pornografi tidak mau mengalami kerugian dan selalu berusaha untuk terus “memasarkan” dagangannya. Akibatnya, resiko remaja terpapar pornografi sangat tinggi. Oleh karena itu, orangtua perlu memberikan penjelasan tentang pornografi kepada remaja. Remaja perlu mendapatkan penjelasan sehingga benar-benar memahami bahwa pornografi bertolak belakang dengan fakta. Para pebisnis pornografi dan pelakon video/games porno melakukan perilaku porno semata-mata demi uang. Membuat film/video/games porno adalah pekerjaan mereka guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Karena itu adalah pekerjaan mereka, maka mereka harus bekerja sesuai dengan tuntutan pekerjaan, misalnya: berlatih gaya/gerakan tertentu, menjaga wajah dan tubuh agar sesuai dengan standard tertentu dan lain-lain. Mereka harus mengerjakan pekerjaan mereka sesuai dengan yang ditentukan. Jika tidak, maka mereka akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

Padahal, dalam kehidupan nyata tidak demikian. Hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami istri bukan pekerjaan untuk mendapatkan uang, tetapi semata-mata untuk kesenangan dan kebahagiaan pasangan suami istri tersebut, yang juga dapat membuahkan kehamilan (keturunan). Selain itu, pornografi terbukti dapat merusak otak manusia sehingga manusia tidak dapat berpikir dengan baik dan berperilaku buruk. Di Indonesia, ada undang-undang yang mengatur tentang pornografi. Barangsiapa melanggar apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut akan dihukum.

Menjelaskan tentang Virtual Sex

Salah satu bentuk penyalahgunaan internet dan teknologi komunikasi adalah virtual sexVirtual sex adalah perilaku seksual yang dilakukan dengan menggunakan internet dan elektonik. Bentuknya dapat berupa pengiriman pesan tertulis, gambar dan video (chat di WA/medsos, SMS, dan lain-lain), percakapan verbal (di telepon, WA call dan lain-lain), maupun video call, yang berisi konten-konten atau perilaku asusila atau porno. Apabila yang melakukan bukan pasangan suami istri yang sah, hal ini dianggap sebagai perilaku asusila yang melanggar norma di masyarakat. Selain itu, pelaku virtual sex sangat rentan berhadapan dengan hukum. Indonesia memiliki produk hukum yang mengatur hal ini, yaitu undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Menjelaskan tentang Pelecehan Seksual

Pelecehan adalah perilaku yang tidak baik karena sangat merugikan orang yang mengalaminya. Dengan alasan bercanda, banyak remaja mengalami dan melakukan pelecehan seksual. Di Indonesia, pelecehan seksual merupakan bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Ada undang-undang yang mengatur hal ini. Pelaku pelecehan seksual dapat dihukum. Remaja tidak boleh menjadi korban atau pelaku pelecehan seksual.

Menjadi Teladan

Akhirnya, setelah ngobrol tentang seks dengan orangtuanya, anak sangat membutuhkan teladan dari orangtua. Keteladanan orangtua sangat menolong anak untuk dapat memiliki perilaku seksual yang sehat. Apabila orangtua tidak dapat memberikan teladan yang baik, maka remaja dapat menjadi bingung, kecewa, marah atau frustasi. Misalnya: orangtua melarang anak remajanya untuk mengkonsumsi pornografi. Suatu ketika remaja tersebut memergoki orangtuanya sedang menonton video porno. Ternyata orangtuanya adalah pelanggan aktif pornografi. Kira-kira, apa yang akan terjadi pada remaja tersebut?

Minggu, 07 Juli 2024

PENDIDIKAN HUKUM UNTUK ANAK

PENDIDIKAN HUKUM UNTUK ANAK

Akhir-akhir ini semakin banyak anak yang menjadi korban kejahatan, baik dalam bentuk perdagangan anak, kekerasan fisik, perundungan (bullying), kejahatan cyber, narkoba/napza, pembunuhan, pemerkosaan, pornografi, dan lain-lain. Selain itu, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan juga semakin meningkat. Banyak di antara mereka yang harus berhadapan dengan hukum dan mendapat vonis hukuman penjara. Padahal, anak adalah individu yang sedang dalam proses perkembangan. Jadi, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan adalah hal yang sangat merugikan hidup anak. Oleh karena itu, anak harus diberikan pendidikan hukum sedari dini. Pendidikan hukum yang diberikan kepada anak bukan untuk mengkondisikan anak belajar ilmu hukum secara formal atau menjadikannya sebagai praktisi hukum, akan tetapi agar anak memahami apa yang menjadi kewajibannya; apa haknya; apa yang harus ia lakukan ketika diperlakukan dengan tidak baik oleh orang lain atau mendapat ancaman kejahatan dari pihak mana pun; dan apa yang harus ia lakukan ketika ia dipaksa untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum.

Selain itu, Indonesia menganut Asas Fiksi Hukum. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu (presumption iures de iure). Ketentuan tersebut berlaku mengikat, sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat) (https://jdih.mahkamahagung.go.id/berita-detail/penerapan-asas-fiksi-hukum-dalam-perma). Jadi, memberikan pendidikan hukum kepada anak sejak dini sangat penting guna membentuk karakter anak dan menjadikan anak sebagai individu yang taat hukum.

Beberapa hal di bawah ini dapat dipertimbangkan dalam memberikan pendidikan hukum kepada anak.

Gunakan Bahasa yang Sederhana

Anak, terutama yang masih sangat kecil, sedang dalam proses perkembangan berbahasa dan berkomunikasi. Oleh karena itu, kosa kata yang mereka pahami masih sangat terbatas. Jika memberikan pendidikan hukum kepada mereka, maka harus menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana. Penggunakan istilah asing atau pun istilah-istilah hukum yang tidak dipahami oleh orang awam apalagi anak-anak harus dihindari. Jika kita nekat menggunakan istilah-istilah yang tidak biasa dan sulit untuk diucapkan, selain tidak paham, maka  anak akan enggan untuk mendengarkan apa yang sedang kita jelaskan kepadanya.

Semua Orang Punya Kewajiban

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan. Semua orang, termasuk anak, punya kewajiban. Kewajiban anak sangat tergantung dari peran yang ia sandang. Misalnya: kewajibannya sebagai seorang anak; kewajibannya sebagai seorang adik, kewajibannya sebagai seorang kakak, kewajibannya sebagai anggota keluarga; kewajibannya sebagai seorang murid; kewajibannya sebagai umat beragama; kewajibannya sebagai seorang warga komplek perumahan, dan kewajibannya sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh: sebagai anak, ia harus taat kepada orangtuanya; sebagai warga komplek, ia tidak boleh menyetel musik dengan suara yang sangat kencang karena ia harus menjaga ketertiban lingkungannya; sebagai seorang siswa ia harus mematuhi semua peraturan sekolah; sebagai seorang pemeluk agama tertentu ia harus taat kepada ajaran agamanya; dan sebagai seorang warga Negara Kesatuan Republik Indonesia ia harus mematuhi hukum dan pemerintahan. Kewajiban mendahului hak. Artinya, sebelum mendapatkan haknya seseorang harus terlebih dahulu melakukan kewajibannya. Kewajiban dan hak saling terkait. Tidak ada hak tanpa kewajiban, dan orang yang sudah melakukan kewajibannya harus mendapatkan haknya. Anak harus diajarkan apa yang menjadi kewajibannya dan harus melakukan kewajibannya dengan baik. Dengan demikian, ia berhak memperoleh hak-haknya.

Semua Orang Punya Hak

Sama halnya dengan kewajiban, anak juga memiliki hak. Misalnya: sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, anak berhak medapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi; sebagai anak ia berhak disayangi; sebagai murid ia berhak atas layanan pendidikan yang baik; dan lain-lain. Jika anak menyadari dan melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka anak dapat menuntut atau meminta apa yang menjadi haknya.

Mengajarkan Etika, Nilai-Nilai Moral, dan Nilai-nilai Agama

Memberikan pendidikan hukum kepada anak bukan berarti mengajarkan tentang peraturan perundang-undangan semata, tetapi juga tentang etika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai agama. Pendidikan hukum kepada anak sebaiknya dimulai dari mengajarkan etika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai yang dianut oleh anak. Misalnya: jika masuk ke dalam rumah orang harus dengan izin yang punya rumah baik; tidak boleh mengambil mainan teman tanpa seizinnya; tidak boleh menyontek; jujur; sopan; dan lain-lain. Jika sejak kecil anak sudah terbiasa hidup dalam etika, nilai-nilai moral dan nilai-nilai agama yang dianutnya, maka sangat mudah baginya untuk taat kepada hukum yang berlaku di mana pun ia tinggal. Ia akan tumbuh menjadi individu yang taat hukum, menghormati hak-hak orang lain, mengerjakan kewajibannya dan sadar akan hak-haknya.

Di mana-mana Ada Peraturan

“Ubi Societas Ibi Ius”, yang berarti di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Secara sederhana hukum dapat disamakan dengan peraturan. Di mana-mana ada peraturan yang harus dipatuhi oleh semua orang yang ada di situ. Setiap tempat memiliki peraturan yang berbeda.  Anak harus dibantu untuk memahami hal ini. Ia harus paham bahwa di mana pun ia berada, di sana ada peraturan yang harus ia hormati dan taati. Misalnya: di rumahnya ada peraturan, misalnya: semua anggota keluarga sudah harus bangun paling lambat pukul 05:00 pagi; di sekolah ada peraturan, misalnya: semua siswa/I harus menggunakan pakaian seragam yang sudah ditentukan; di jalan raya aa peraturan, misalnya: menyerberang jalan harus melalui Jembatan Penyeberangan Orang (JPO); di rumah sakit ada peraturan, misalnya: tidak boleh berisik; dan lain-lain. Jika sejak dini anak memahami hal ini, ia akan tumbuh menjadi individu yang sadar dan taat hukum.

Menyampaikan Argumentasi dengan Logis dan Persuasif

Setiap orang berhak berpendapat, termasuk anak. Akan tetapi pendapat harus disampaikan dengan cara yang benar dan di waktu serta tempat yang tepat. Saat ini, banyak anak yang bermasalah dengan orang lain dan hukum karena salah dalam menyampaikan pendapatnya. Sejak dini anak harus dilatih untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasi dengan argumentasi yang logis dan persuasif.  Misalnya: Ayah mengajak Peter ke rumah om Hadi, teman ayah. Peter tidak mau. Jika tidak mau ikut, Peter tidak boleh menangis atau marah-marah, tetapi harus menyampaikan keinginannya tersebut dengan baik, dengan alasan yang tepat. Misalnya: tidak mau ikut karena mau menyelesaikan membaca buku yang dipinjam dari perpustakaan, mau istirahat di rumah atau ingin main dengan adik di rumah.

Berani Menolak

Tidak semua perintah, ajakan, atau tawaran harus diterima oleh anak. Oleh sebab itu, anak harus diajar untuk berani menolak. Misalnya: Adi diajak Bram pulang sekolah langsung pergi bermain ke mall. Orangtua Adi sudah berpesan jika pulang sekolah harus langsung pulang. Karena jika menerima ajakan Bram berarti tidak taat kepada orangtua, maka Adi harus berani menolak.

Berani Melindungi Diri dan Orang Lain

Ada kalanya mendapat perlakuan tidak baik dari orang lain tidak terelakkan oleh anak. Dalam hal ini, anak harus berani melindungi dirinya. Misalnya: berupaya membebaskan diri, berlari menjauh, berteriak minta tolong, dan lain-lain. Selain itu, anak juga harus dididik untuk berani melindungi orang lain yang mengalami tindak pelanggaran hukum. Misalnya: Bram memiliki teman yang bernama Joy. Suatu hari, Bram melihat Joy dipaksa oleh Iwan untuk memberikan semua uangnya. Maka, yang dapat dilakukan oleh Bram adalah menasehati Iwan dan mengatakan pada Iwan hal tersebut tidak baik dan melanggar hukum. Keberanian anak dalam melindungi diri dapat membuatnya terlepas dari kejahatan.

Berani Melapor

Ketika ada pihak yang merampas atau tidak memberikan hak anak, maka anak harus berani melapor. Misalnya: ada tetangga yang memperlihatkan video porno kepadanya; ada orang tak dikenal menawarkan uang kepadanya; dan lain-lain. Laporan dapat disampaikan kepada orangtua, wali, atau guru. Untuk peristiwa yang lebih besar seperti upaya penculikan, penganiayaan, dan kejahatan lain, dapat dilaporkan kepada  Polisi atau lembaga-lembaga perlindungan anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga lain yang merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Mulai dari Rumah

Sama halnya dengan banyak bentuk pendidikan lainnya terutama yang terkait dengan nilai-nilai, pendidikan hukum kepada anak harus diberikan mulai dari rumah. Jika di rumah anak sudah taat hukum, maka lebih mudah baginya untuk menaati hukum-hukum lain yang berlaku di luar rumah. Sebaliknya, jika di rumah anak terbiasa hidup suka-suka, maka ketika berada di luar rumah (misalnya: di sekolah atau di masyarakat), ia akan sulit beradaptasi terhadap peraturan yang berlaku di sana.

Orangtua harus Dapat Menjadi Teladan dalam Perilaku Taat Hukum  

Apabila orangtua dapat menjadi teladan dalam perilaku taat hukum, maka anak lebih mudah memahami dan melakukan perilaku taat hukum. Oleh karena itu, orangtua harus dapat menjadi teladan bagi anak dalam perilaku taat hukum.

Sabtu, 06 Juli 2024

MENGEMBANGKAN KUALITAS DIRI ANAK

MENGEMBANGKAN KUALITAS DIRI ANAK

Kata “flexing” (suka pamer) sedang “naik daun” saat ini, karena banyak orang berperilaku flexing,  yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari maupun di akun media sosial mereka. Tidak hanya orang dewasa, remaja yang masih berusia anak pun banyak yang melakukannya. Tentu saja yang mereka pamerkan adalah harta kekayaan orangtuanya. Akibatnya, selain mendapatkan cibiran dari masyarakat dan nitizien, orangtua dari anak tersebut menjadi susah dan repot karena harta kekayaannya diusut, dicopot dari jabatannya bahkan dipecat dan berhadapan dengan hukum. Selain itu, semakin banyak juga anak yang berani melakukan perilaku brutal seperti memukul dan menganiaya orang lain. Ini adalah perilaku kriminal dan melanggar hukum. Oleh karena perilaku mereka, anak-anak itu harus berhadapan dengan hukum. Perilaku flexing maupun perilaku brutal pada anak menunjukkan betapa rendahnya kualitas diri anak tersebut.

Kualitas diri anak tidak semata-mata dinilai dari tingkat kecerdasan intelektual yang ia miliki, harta kekayaan orangtua/keluarganya, kekuasaan/jabatan orangtuanya, fasilitas yang ia miliki, keelokan parasnya, dan juga bukan karena tubuhnya yang sehat dan kuat.  Kualitas diri anak merupakan kondisi yang menggambarkan nilai-nilai yang dimilikinya, karakter, sikap, cara berpikir, perilaku serta kebiasaan. Misalnya: memiliki integritas, rajin, kreatif, jujur, dapat dipercaya, dapat diandalkan; suka menolong;  gigih, sabar, beretika, ramah, sopan, rendah hati, saleh, taat kepada ajaran agama yang dianutnya, memiliki selera humor yang baik, berani, tekun dan semangat, disiplin, murah hati, taat pada hukum/aturan/peraturan; menghargai orang lain; menghormati miliki orang lain dan supel. Kualitas diri anak memiliki peran penting dalam hidup anak di masa kini maupun masa depan, termasuk dalam menjalani pendidikan; bekerja; berusaha/berbisnis;  dan dalam berelasi sosial maupun relasi personal. Jika anak tidak memiliki kualitas diri yang baik, maka ia akan menghadapi masalah besar dalam semua aspek kehidupannya, misalnya: tidak dapat menyelesaikan studi dengan baik; tidak memiliki relasi sosial yang baik; tak bisa mendapatkan pekerjaan, tak dapat berusaha dengan baik; berkonflik sana sini; dan berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, kualitas diri anak harus dikembangkan sedari diri.

Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan guna mengembangkan kualitas diri anak.

Melatih Anak untuk Dispilin

Semua hal membutuhkan disiplinan. Itulah sebabnya anak harus dilatih disiplin sejak dini. Disiplin pada anak dapat dilatih dengan mengatur dan mematuhi jadwal. Misalnya; bangun pagi pukul berapa; pukul berapa boleh bermain dan berapa lama; pukul berapa tidur di malam hari; mengerjakan PR/tugas dulu baru boleh bermain; dan lain-lain.

Regulasi Emosi

Sama halnya dengan orang dewasa, anak juga memiliki emosi negatif seperti marah; sedih; cemas; kecewa; takut; dan malu. Emosi negatif ini dapat muncul kapan saja dan di mana saja. Hal ini wajar, akan tetapi, agar emosi negatif pada anak tidak berdampak buruk pada dirinya dan orang lain, maka anak harus dilatih untuk meregulasi emosinya. Emosi negatif yang diregulasi akan terkendali sehingga tak berefek negatif bagi anak maupun orang lain.

Melatih Anak untuk Berani

Banyak anak yang menjadi korban perundungan (bullying); mengkonsumsi napza dan pornografi; dan perilaku tidak baik lainnya karena tidak berani menolak ajakan temannya. Ada anak yang dianggap tidak berprestasi bukan karena tidak memiliki potensi tetapi karena tidak berani tampil dan mencoba sesutau yang baru. Untuk hal-hal yang positif anak harus didorong untuk berani. Berani maju/tampil; berani mencoba sesuatu yang baru; berani menolak tawaran yang tidak baik dari siapapun; dan lain-lain. Keberanian pada anak harus dipupuk sejak kecil dari rumah. Misalnya: anak dilatih untuk berani berpendapat sekalipun pendapatnya tersebut berbeda dengan pendapat orangtuanya. Tentu saja ia harus menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik dan sopan.

Melatih Anak untuk Bertanggung Jawab

Orang yang tidak dapat bertanggung jawab pada akhirnya tidak akan mendapatkan kepercayaan dari orang lain dan akan kehilangan berbagai kesempatan yang baik. Perilaku tidak bertanggung jawab sangat merugikan orang lain. Oleh karena itu, keterampilan bertanggung jawab harus dilatihkan kepada anak sejak dini. Misalnya: setelah selesai bermain, maka ia harus merapikan mainannya; tugas-tugas yang diberikan kepadanya, misalnya mencuci piring, harus ia kerjakan. Dengan demikian, anak akan terlatih bertanggung jawab atas semua yang menjadi tugasnya dan mau menerima semua konsekuensi perilakunya.

Tidak terlalu Permisif

Bersikap permisif terhadap anak berarti membiarkan anak melakukan apa pun yang ia mau. Padahal, anak yang sedang dalam proses  perkembangan kognitif belum terlalu memahami konsekuensi dari semua yang ia inginkan dan lakukan. Misalnya: karena melihat orang lain mengendarai sepeda motor, maka anak menjadi ingin mengendarai sepeda motor, padahal ia baru berusia 10 tahun, walaupun tubuhnya tampak lebih tinggi dibanding dengan anak lain seusianya. Walaupun begitu, bukan berarti  boleh mengendarai sepeda motor karena ia masih di bawah umur. Orangtua yang bijak tak akan mengijinkan anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai sepeda motor,  walaupun ia mampu membelikan anaknya sepeda motor atau tubuh anak besar seperti orang dewasa. Anak yang diperlakukan dengan permisif akan tumbuh menjadi anak yang hidup suka-suka dan sesuka hatinya. Ini pasti akan merugikan anak dan orang lain.

Melatih Anak untuk Menghormati dan Menghargai Orang Lain

Setiap orang wajib menghoramati dan menghargai orang lain. Sikap saling menghormati dan mengharga sangat dibutuhkan dalam segala bentuk relasi. Orang yang mampu menghormati dan menghargai orang lain akan disukai oleh orang lain. Rasa suka orang pada dirinya karena sikapnya ini akan membawa keberuntungan. Itulah sebabnya, dari dini anak harus dilatih untuk menghormati dan menghargai orang lain. Misalnya: tidak menyela ketika orang lain bicara; berbicara sopan termasuk kepada orang-orang yang bekerja di rumahnya; tidak boleh mengejek atau menghina siapapun; dan lain-lain.

Tidak terlalu Memanjakan Anak

Memanjakan anak artinya memperlakukan anak dengan sangat istimewa. Pada umumnya, karena memang sangat mengasihi anaknya, orangtua akan memperlakukan anaknya dengan istimewa. Akan tetapi terlalu memanjakan anak tidak baik. Misalnya: terlalu menuruti semua permintaan anak; bersikap permisif pada anak; dan terlalu melayani anak. Jika terlalu dimanjakan, anak akan menjadi lemah secara fisik maupun mental; tidak mandiri; dan tidak dapat berkembang dengan maksimal.

Terampil Menggunakan Kata Maaf, Terima Kasih, Tolong dan Permisi

Setiap orang harus terampil menggunakan kata “maaf”, “terima kasih”, “tolong”, dan “permisi”. Keterampilan ini sangat penting dalam berkomunikasi dan membangun relasi dengan siapa pun. Keterampilan ini harus dilatihkan kepada anak sejak dini. Misalnya: Mengucapkan “tolong” ketika hendak mengharapkan bantuan dari seseorang; mengucapkan  “maaf” ketika sengaja atau tidak melakukan kesalahan; mengucapkan “terima kasih” jika diberi sesuatu (barang, kesempatan, pujian, dan lain-lain); dan mengucapkan “permisi” jika lewat di depan orang atau hendak minta ijin. Anak yang mampu menggunakan kata-kata ini dengan tepat akan dinilai sebagai anak yang sopan, tahu menghormati orang lain dan disukai oleh orang lain.

Pola Asuh yang Tepat

Dalam menjalankan peran, tugas dan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak, orangtua harus dapat menerapkan pola asuh dengan tepat. Orangtua harus mampu dan tahu kapan harus bertindak otoriter, kapan harus bersikap permisif dan kapan harus berlaku demokratis kepada anak. Anak yang diasuh dengan benar akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan berkarakter.

Menanamkan Nilai-nilai Keluarga

Nilai-nilai adalah keyakinan yang sesuai dengan hati nurani, yang dipegang teguh oleh seseorang atau sekelompok orang. Setiap keluarga memiliki nilai-nilai tertentu, yang biasanya berasal dari norma masyarakat di mana keluarga tersebut tinggal; nilai-nilai budaya yang merupakan asal dari keluarga tersebut, dan terutama bersumber dari nilai-nilai agama yang dianut. Selain itu, ada juga nilai-nilai yang bersifat universal, misalnya: jujur; berintegritas;  rajin; suka menolong sesama; tidak boleh mencuri; tidak boleh menyakiti orang lain; ramah; gotong-royong; dan toleransi. Apabila sejak dini dalam diri anak sudah ditanamkan nilai-nilai ini, maka ia akan tumbuh menjadi individu yang memiliki kualitas diri yang baik.

Orangtua adalah Teladan bagi Anak

Agar dapat memiliki kualitas diri yang baik, anak perlu figur sebagai teladan. Keteladanan yang ditunjukkan orangtua dapat mendorong anak dalam membangun dan mengembangkan kuliatas dirinya.

Kamis, 04 Juli 2024

Menjadikan Anak Cerdas dan Percaya Diri Ini Kuncinya

Menjadikan Anak Cerdas dan Percaya Diri Ini Kuncinya

Setiap anak dilahirkan dengan rasa keingintahuan yang tinggi. Rasa ingin tahu tersebut yang mendorong anak untuk belajar dan mengeksplorasi hal-hal di sekitarnya. Sayangnya, banyak orang tua yang kewalahan ketika menghadapi rasa ingin tahu anaknya. Bahkan, tak jarang orang tua sebal dan menyuruh anaknya untuk tidak banyak bertanya macam-macam. Respons orang tua yang demikian akan memunculkan rasa takut dan rasa tidak percaya diri pada anak. Acapkali orang tua enggan menjawab rasa penasaran anak sehingga rasa ingin tahunya terpatahkan. Hal ini akan memunculkan rasa takut dan kurang percaya diri untuk bertanya lagi.
Berikan Perhatian

Respons yang tidak menyenangkan membuat harapan orang tua agar anak belajar dan menjadi pintar secara tidak langsung terpatahkan oleh mereka sendiri. Terkadang orang tua merasa terlalu lelah setelah bekerja dan memilih istirahat dengan bermain smartphone daripada bermain dengan anak-anak. Anak kenyang merupakan indikator orang tua bahwa dia sudah menyelesaikan tanggung jawabnya. Padahal, seharusnya ketika orang tua pulang yang dilakukan adalah mencium sang anak dan menyapanya dengan memberi penghargaan.
Ajak Anak Bermain

Mengajak anak bermain merupakan salah satu fasilitas untuk berkembangnya pikiran anak. Kerena ilmuwan mengatakan bahwa bermain adalah belajar untuk anak. Dengan bermain, secara tidak langsung anak belajar apalagi bermain dengan orang tua. Orang tua akan lebih tahu mengenai anaknya dan menumbuhkan kelekatan dengan sang anak. Ketika anak bertanya, orang tua harus berusaha untuk memberikan penjelasan terbaik untuk anaknya. Penjelasan sebaiknya sesuai porsi anak-anak. Misal anak bertanya “kenapa kalau malam gelap” jawab saja “karena matahari sedang tidur, jadi digantikan dengan bulan yang tidak memiliki cahaya”.
Berikan Pujian dan Penghargaan

Memberikan pujian kepada anak atas usahanya juga dapat secara tidak langsung mengangkat harga diri anak. Sehingga anak akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Penghargaan yang dimaksud tidak dengan membelikan sepatu atau sesuatu yang berbentuk fisik. Cukup katakan kepada anak “Wah hebat, keren, kece, pintar, rajin, dst” akan meningkatkan kepercayaan diri sang anak sehingga anak berkembang menjadi anak yang positif. Katakan hal baik ketika anak melakukan hal baik dapat meningkatkan perilaku baik juga. Karena perubahan yang baik dan disertai pujian yang baik maka perilaku yang baik itu akan meningkat.

Rabu, 03 Juli 2024

KONSELING ANAK

KONSELING ANAK

Anak adalah individu yang sedang dalam proses perkembangan di semua aspek. Dalam proses kehidupan tersebut, anak menghadapi berbagai masalah, misalnya: masalah dengan teman sebaya, masalah keluarga, masalah sekolah dan belajar, perundungan (bullying). Teknologi digital turut andil dalam memunculkan berbagai permasalahan pada anak. Karena anak sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, maka  kemampuan anak dalam memahami dan mengatasi berbagai permasalahan masih sangat terbatas. Apabila masalah yang dihadapi anak tidak segera diselesaikan, maka dapat mengganggu perkembangan anak, pergaulan anak, mengganggu kesehatan fisik anak dan bahkan dapat membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, anak harus dibantu. Proses membantu anak dalam menangani berbagai permasalahan dalam hidupnya dapat dilakukan melalui konseling.

Secara sederhana, konseling anak dapat diartikan sebagai upaya memberikan bantuan, yang dilakukan melalui berbagai teknik wawancara oleh seorang ahli atau prosfesional dalam bidang konseling. Orang yang memberikan layanan konseling disebut konselor, dan individu yang menerima layanan konseling disebut konseli. Konseling anak bertujuan untuk menolong  anak melihat dan memahami masalah yang sedang ia alami, mampu mengelola emosi dan stres dengan baik, serta dapat mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahannya. Pengalaman dalam proses konseling membuat anak lebih siap dan mampu menyelesaikan masalah-masalah lain, yang akan ia hadapi dalam perjalanan hidupnya. Berikut adalah beberapa kondisi dimana anak membutuhkan layanan konseling.

Trauma

Trauma adalah kondisi negatif pada anak yang timbul  akibat pengalaman buruk yang ia alami. Misalnya: ketakutan, curiga yang berlebihan, menarik diri dari orang lain termasuk keluarga dan orangtua, panik, gugup, sedih, marah, gangguan makan, atau gangguan tidur. Jika tidak segera ditangani, peristiwa traumatik pada anak dapat mengganggu kesehatan fisik dan psikisnya, baik bersifat jangka pendek, panjang, bahkan permanen. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Kecemasan

Kecemasan adalah rasa cemas yang yang timbul ketika khawatir atau takut akan sesuatu. Rasa cemas adalah wajar, tetapi jika intensitasnya berat atau berkepanjangan, maka berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental seseorang sehingga mengganggu relasi dan produktifitasnya. Oleh karena itu, kecemasan pada anak perlu diperhatikan.

Kepercayaan Diri Tidak Sehat

Kepercayaan diri adalah kondisi dimana anak merasa yakin dengan dirinya. Rasa percaya diri yang sehat akan membuat anak berani. Misalnya: berani bicara kepada orang lain atau berani bicara di depan orang banyak, dan berani mencoba hal-hal yang baru atau menantang. Ini membuat anak dapat mengembangkan diri dengan optimal. Kepercayaan diri yang tidak sehat adalah kondisi dimana anak menilai diri tidak objektif. Misalnya: hanya melihat kekurangan/ keterbatasan diri sendiri (tidak/kurang percaya diri) atau merasa memiliki sangat banyak kelebihan atau tidak punya keterbatasan/kekurangan (overconfidence). Kepercayaan diri yang tidak sehat, baik itu berupa kepercayaan diri yang rendah atau berlebihan, tidak baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Memiliki Konsep Diri yang Negatif

Konsep diri adalah pandangan anak terhadap dirinya sendiri, baik positif atau negatif. Konsep diri anak memengaruhi rasa percaya diri dan harga dirinya. Konsep diri yang negatif akan membuat anak memiliki rasa percaya diri negatif  dan harga diri rendah.

Harga Diri (Self Esteem) Rendah

Harga diri (self esteem) adalah suatu konsep tentang  seberapa besar seorang anak menghargai dirinya sendiri. Harga diri yang positif akan membuat anak mampu memperlakukan, menjaga dan melindungi dirinya dengan baik. Sebaliknya, anak dengan harga diri yang rendah tidak akan dapat memperlakukan, menjaga dan melindungi dirinya dengan baik. Kondisi ini tentu berbahaya.

Kedukaan

Kedukaan adalah kesedihan yang muncul karena  anakkehilangan. Misalnya kehilangan orangtua, saudara atau sahabat akibat kematian. Apabila tidak diatasi, kedukaan berdampak buruk bagi anak.

Kejahatan Seksual

Kejahahatan seksual berdampak sangat buruk pada fisik dan psikis anak, baik untuk jangka pendek, menengah, panjang, bahkan permanen. Kejahatan seksual juga dapat membuat anak terancam terkena penyakit mematikan dan dapat membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental. Selain itu, kejahatan seksual yang dialami anak dapat membuatnya menjadi pelaku kejahatan atau mengalami perilaku seksual yang tidak sehat dan menyimpang. Oleh karena itu, kejahatan seksual pada anak tidak boleh dianggap enteng dan sepele. Anak yang mengalami kejahatan seksual, selain harus dibela dan dilindungi, juga harus mendapatkan berbagai pertolongan dan perawatan yang dibutuhkan, termasuk layanan konseling.

Diskriminasi

Diskriminasi adalah dengan sengaja membeda-bedakan anak dengan anak-anak yang lainnya karena agama, etnis, suku, ras, atau  kondisi tertentu (misalnya: menyandang disabilitas). Perlakuan diskriminatif yang dialami anak dapat berpengaruh buruk pada fisik dan psikisnya sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.

Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Berhadapan dengan hukum adalah suatu kondisi dimana anak berurusan dengan hukum karena menjadi pelaku tindak pidana, korban tindak pidana atau menjadi saksi terjadinya suatu tindak pidana. Berhadapan dengan hukum adalah kondisi yang sulit dan sangat tidak menyenangkan. Proses hukum dapat menimbulkan tekanan bahkan dapat membuat anak depresi. Oleh karena itu, anak yang berhadapan dengan hukum perlu mendapatkan layanan konseling. Ini merupakan salah satu hak dan perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum.

Kekerasan

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (15a), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa kekerasan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan terhadap anak.

Stigma

Stigma  adalah suatu label negatif yang dilekatkan pada anak. Stigma dapat menimbulkan efek negatif pada anak, misalnya: anak menjadi sedih, marah, dendam, rendah diri, merasa diri tidak berharga, tidak percaya diri, tertekan, depresi, atau mengalami gangguan kesehatan fisik dan/atau psikis.

Perceraian Orangtua

Apa pun alasan perceraian orangtua, perceraian dapat berdampak buruk bagi anak. Misalnya: anak menjadi sedih, kecewa, marah, malu, cemas, bingung, atau takut.

Masalah Orangtua atau Keluarga

Sejatinya, anak tidak dapat dipisahkan dari orangtua dan keluarganya. Oleh karena itu, apa yang terjadi pada orangtua dan keluarga akan berdampak pada anak. Misalnya: konflik orangtua, konflik keluarga, masalah ekonomi atau kebangkrutan orangtua, dan orangtua atau ada anggota keluarga yang mengalami sakit parah. Masalah ini dapat membuat anak menjadi murung, sedih, takut, dan khawatir. Selain itu, masalah orangtua atau keluarga dapat membuat perubahan perilaku pada anak, seperti tidak mau bermain dengan teman-temannya di sekolah, bengong waktu belajar, tidak konsentrasi, berperilaku agresif, atau mengalami penurunan prestasi akademik.

Mengalami Masalah Kesehatan Mental

Masalah kesehatan mental  adalah suatu kondisi dimana pikiran, perasaan, perilaku, atau suasana hati seseorang terganggu secara signifikan. Hal ini dapat menimbulkan stres, kekhawatiran yang berlebihan, ketakutan, depresi, bermasalah dalam komunikasi dan relasi dengan orang lain, berperilaku destruktif, menyakiti diri sendiri, atau menyakiti orang lain.

Terdiagnosa Penyakit

Terdiagnosa penyakit tertentu dapat berdampak buruk pada anak, apalagi jika penyakit tersebut adalah penyakit yang berbahaya dan mematikan, misalnya kanker atau HIV/Aids. Diagnosa seperti ini dapat menimbulkan berbagai emosi negatif pada anak, seperti sedih, ketakutan, malu, atau depresi, sehingga memperburuk kondisi kesehatan anak.

Terjadi Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku tertentu pada anak perlu diwaspadai, seperti: menarik diri dari orangtua, keluarga atau teman-teman; tampak murung atau sedih; menjadi gampang tersinggung dan marah; agresif; atau malas. Perubahan perilaku seperti ini adalah tanda bahwa telah terjadi sesuatu pada anak.

Prestasi Akademik Menurun Drastis

Prestasi akademik yang turun naik  adalah hal yang biasa dalam proses belajar anak. Akan tetapi, apabila prestasi akademik anak turun drastis, maka perlu diduga ada hambatan belajar pada anak. Apabila tidak segera diatasi, hambatan tersebut dapat menggangu proses belajar anak dalam tahap selanjutnya.

Ngompol

Ngompol sering dianggap hal yang wajar terjadi pada anak-anak. Akan tetapi, jika anak tiba-tiba ngompol atau menjadi sering ngompol, bisa saja itu berarti anak mengalami gangguan kesehatan fisik atau gangguan psikologis, misalnya stres, kecemasan, atau ketakutan.

Mimpi Buruk

Mimpi buruk adalah mimpi yang menyebabkan anak menjadi cemas atau takut. Selain karena kondisi fisik dan aktifitas, kondisi psikologis dapat menyebabkan terjadinya mimpi buruk pada anak, seperti: gangguan kecemasan, stress, trauma, atau masalah kesehatan mental.

Insomnia

Insomnia yaitu adalah gangguan tidur dimana anak sulit tidur, butuh waktu yang lama untuk bisa tidur, atau terbangun di malam hari dan tidak bisa tidur kembali. Gangguan tidur akan menyebabkan anak mengalami gangguan kesehatan fisik dan psikis.

Gangguan Makan

Gangguan makan adalah  kondisi dimana anak mengalami masalah dalam hal makan yang disebabkan masalah psikologis seperti stress, kecemasan, dan depresi. Jika tidak segera diatasi, gangguan makan dapat menyebabkan anak mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental.

Merokok, Mengkonsumsi Alkohol atau Narkoba

Selain karena pengaruh teman dan ingin coba-coba, merokok, mengkonsumsi alkohol atau narkoba pada anak disebabkan oleh masalah psikologis atau ketidakmampuan anak dalam menghadapi masalah dan tekanan. Perilaku merokok, mengkonsumsi alkohol atau narkoba berbahaya bagi anak dan akan membawa anak dalam persoalan hukum.

Berbicara tentang Membunuh atau Bunuh Diri

Membunuh dan bunuh diri bukan topik percakapan yang menyenangkan dan juga bukan topik yang biasa pada percakapan anak-anak. Oleh karena itu, harus waspada jika anak tiba-tiba suka berbicara tentang membunuh dan bunuh diri.

Melakukan suatu Aktifitas dengan Berulang-ulang

Jika anak melakukan suatu aktivitas dengan berulang-ulang bisa jadi ia merasa tidak percaya diri, atau merasa sesuatu yang buruk akan terjadi bila tidak melakukan itu. Jika aktivitas itu adalah mencuci tangan, kaki, wajah atau mandi, maka bisa jadi ia merasa dirinya kotor. Ini menunjukkan ada masalah pada anak.

Mengatakan Melihat Sesuatu atau Mendengar Sesuatu yang Tidak Dilihat atau Didengar Orang Lain

Bila anak mengatakan melihat sesuatu atau mendengar sesuatu yang tidak dilihat atau didengar orang lain, itu pertanda bahwa anak mengalami suatu masalah serius sehingga anak harus dibantu.

Melakukan Tindakan untuk Menyakiti Diri Sendiri atau Orang Lain

Tindakan apa pun yang dilakukan anak untuk  menyakiti dirinya atau orang lain tidak dapat ditoleransi. Ini pertanda ada masalah serius pada anak dan ia harus ditolong.

Mengatakan Hal-hal yang Aneh atau Tidak Masuk Akal

Banyak anak usia 2 atau 3 tahun yang suka mengatakan hal-hal yang aneh atau tidak masuk akal, misalnya: anak berkata mau menjadi spiderman. Hal Ini tidak perlu dikhawatirkan karena pada fase tersebut anak sedang dalam masa perkembangan kognitif.  Akan tetapi, jika anak yang sudah besar mengatakan hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal, maka perlu dicermati. Bisa jadi itu adalah tanda anak mengalami gangguan kesehatan mental.

Adiksi 

Adiksi adalah suatu kondisi dimana anak mengalami keterikatan terhadap sesuatu, baik itu berupa benda, zat atau perilaku. Misalnya: adiksi terhadap games, gawai, rokok, narkoba atau pornografi. Adiksi merusak otak anak. Oleh karena itu, anak yang mengalami adiksi harus segera ditolong.

Konseling anak adalah layanan profesional, oleh karena itu orang yang melakukan layanan konseling kepada anak harus memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai konselor. Ia harus memahami psikologi dan perkembangan anak dan memiliki kompetensi sebagai konselor anak.